Imam Malik bin Anas

29 April 2009

Imam Malik mempunyai nama lengkap Malik bin Anas bin Amir al Ashbahi. Lahir di Madinah pada tahun 93 H. Dari kedua orang tua arab, maka dinisbatkan kepada bapaknya yang berasal dari qabilah Dzi Ashbah, salah satu qabilah yang ada di Yaman. Dan ibunya adalah al ‘Aliyah binti Syarik al Asadiyah, yaitu berasal dari qabilah Asad. Kakeknya Abu ‘Amir adalah seorang sohabi yang beberapa kali mengikuti perang bersama Nabi SAW kecuali perang Badar. Sebagaimana kakeknya yang paling muda adalah seorang pembesar Tabi’in, dia adalah salah satu dari empat orang yang memikul jasad sahabat Utsman ke makamnya pada malam hari.

Imam Malik bin Anas menghabiskan waktu hidupnya hanya di kota Madinah, dan tidak diketahui kepergian beliau dari kota Madinah kecuali pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sehingga meninggal di sana pada tahun 179 H.


Imam Malik bin Anas telah hafal Al qur’an semenjak kecil, kemudian mulai untuk menggali ilmu dari para ulama Madinah seperti mengikuti majlis Robi’atur Ro’yi. Dan setelah selesai dalam majlis ini, imam Malik berpindah kepada Abdur Rahman bin Harmaz.

Imam Malik sangat kagum kepada Abdul Rahman bin Harmaz yang mana beliau adalah salah satu tabi’in ahli ushul, fiqih dan hadits. Abdul Rahman bin Harmaz meriwayatkan dari Abu Huroiroh, Abu Sa’id al Hudhri, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Imam Malik adalah seorang yang sangat pandai dalam segala ilmu, dan sangat bersemangat dalam mencarinya. Sehingga beliau tidak menyisakan tenaga dan harta demi mencari ilmu. Imam Malik sangat gigih sehingga dalam salah satu riwayat beliau pernah menjual atap rumahnya demi kelanjutannya dalam mencari ilmu. Imam Malik juga mempunyai beberapa masyayikh, yang mana beliau selalu pergi ke tempat mereka untuk mencari ilmu walaupun keadaan cuaca sangat panas ataupun sangat dingin.

Imam Malik memulai belajar dengan periwayatan hadits, ilmu fatawa shohabah, kemudian membuat dasar-dasar fiqih dalam madzhabnya, dan tidak cukup sampai itu saja, beliau bahkan mempelajari semua disiplin ilmu syari’ah. Maka imam Malik tidak hanya sebagai ulama’ hadits saja, namun juga sebagai salah satu imam madzhab fiqih. Maka banyak ulama’-ulama’ besar yang datang kepadanya untuk menimba ilmu. Sehingga madzhab Imam Malik tersebar ke penjuru dunia. Dan pada musim haji, banyak orang yang berbondong-bondong untuk bertemu kepada Imam Malik, sehingga mereka pun rela bergelut dengan suasana yang sangat penuh.

Guru-guru imam Malik bin Anas

Imam Mailk bin Anas berguru dalam ilmu fiqih dan sunnahnya kepada beberapa ulama’ besar saat itu. Diantaranya, Abdul Rahman bin Harmaz, Muhammad bin Muslim bin Syihab az Zuhri, Abu al Zaman ‘Abdullah bin Zakwan, Robi’ah bin ‘Abdul Rahman yang dinamakan juga sebagai Robi’at ar Ro’yi.

Dan perlu diketahui bahwa mereka (masyayikh Imam Malik), sangat menguasai berbagai ilmu, dari fiqih, ijtihad, hadits dan atsar para sahabat. Dan Imam Malik bin Anas telah menguasai semua ilmu dari mereka, sehingga Imam Malik bin Anas disebut sebagai muhaddis, dan disebut juga sebagai faqih.

Kitab Muwato’

Kitab ini terhitung sebagai kitab yang pertama kali disusun. Dimana kitab ini mencakup riwayat-riwayat dari sunnah. Hal ini karena para ulama’ saat itu kebanyakan hanya menyimpan riwayat haditsnya di dalam ingatan mereka. Dan banyak dari mereka yang tidak pandai dalam menulis dan menyusun kitab.

Imam Malik bin Anas mulai menyusun kitabnya pada masa kholifah Abasiyyah, Abi Mansur dan beberapa pemimpin al Mahdi. Sedangkan kholifah Rosyid berusaha menjadikan Muwato’ sebagai panduan peraturan dalam negara islam. Sehingga dalam menghakimi berbagai masalah, akan merujuk pada kitab ini. Selain itu, kholifah juga menginginkan kitab ini di pajang pada dinding ka’bah agar seluruh umat islam mengetahui kitab muwato’ ini. Akan tetapi Imam Malik menolak tawaran tersebut.

Kitan Muwato’ telah mencakup ilmu fiqih. Maka muwato’ merupakan kitab hadits dan juga kitab fiqih. Banyak ulama’ yang meriwayatkan kitab ini, diantaranya riwayat Yahya bin Yahya al Laitsi al Andalusi, riwayat Muhammad bin al Hasan as Syibani dan lain sebagainya.

Murid-murid Imam Malik

1. Ibnu Qosim (128-197 H.)
2. Ibnu Wahhab (125-197 H.)
3. Asyhab (145-204 H.)


Selengkapnya......

Jangan Ceroboh Kawan.....!!!!

28 April 2009


Ini diangkat dari pengalaman pribadi Yang telah terjadi dan membekas hingga sekarang. Ok, kejadian itu memang tidak sepenuhnya aku ingat lantaran aku masih seumur anak jagung, namun bekas luka yang ada di bibir bagian bawah ini, membuatku bertanya-tanya kepada saudara-saudaraku. Kebetulan pamanku yang merupakan saksi hidupku, menceritakan betapa cerobohnya aku, waktu itu.

Lek Usop adalah panggilan akrab pamanku. Entah pagi atau siang, waktu itu aku bersama pamanku, lek Usop, pergi entah untuk apa tujuannya. Barang kali jalan-jalan, karena hobiku waktu kecil adalah jalan-jalan dengan dandanan yang “mlipit”. Aku memakai celana pendek “katok kolor” (bahasa jawa) dengan baju yang aku lupa, artinya, baju apa yang aku pakai.

Ok, ketika mulai beranjak dari rumah, aku memasukkan tanganku ke dalam celana bagian depan (nggak ngapa-ngapain lho...coz, masih kecil :D). Aku berjalan dengan posisi sedemikian rupa tanpa digandeng pamanku. Baru saja beberapa langkah dari rumah, tepatnya di samping rumah tetangga sebelah. Kebetulan di samping rumah tetanggaku itu, terdapat sebuah emperan. Atau bisa kita sebut dengan koridor kecil yang terbuat dari cor-coran pasir dan semen. Dengan tegap aku berjalan menapaki emperan tersebut. Tidak lama kemudian, tiba-tiba aku terjatuh dengan posisi tangan berada di dalam celana. Praktis aku terjatuh seperti pohon roboh karena tanganku tidak bisa menyangga ketika jatuh. Dan sialnya, mulutku menghantam pojokan cor-coran koridor itu. Peenkk.....!!!! kelihatannya rasanya seperti itu (karena aku juga sudah lupa rasanya gimana:D). Pamanku langsung mengangkatku dari tempatku jatuh.

Aku menangis sekuat tenaga setelah terjatuh. Ketika dibopong pamanku, aku tidak mau berhenti menangis dengan sekuat tenaga. Hingga sampai di depan rumah, aku pun tetap menangis keras, dan berteriak. Semua orang yang ada di dalam rumah pun keluar. Dan tetangga sekitar pun ikut melihatku menangis. Dengan cepat Ibuku langsung memelukku dan memeriksa lukaku.

Alhasil, beberapa gigiku terpaksa tumbang atas dan bawah, dan bibir sebelah bawah robek. ketika itu, aku seperti baru memakan ayam yang masih hidup, sehingga mulutku bersimbah darah. Atau seperti drakula yang baru menerkam mangsanya, dengan dua taring sebelah kiri dan kanan (yang tengah ompong).

Aku terlihat menyesal atas kecerobohan yang telah dilakukan. Ompong salah satu akibatnya, dan sehari kemudian Pak Mantri (dokter) datang dan memeriksaku. Sehingga hari itu juga, bibirku dijahid agar bisa kembali normal. Namun rencana itu rupanya kurang berhasil, karena ternyata luka yang di bibir bawah itu justru sebagai lalu lintas air liur yang keluar dari sarangnya. Sehingga proses penyembuhan agak lebih lama dari prediksi.

Namun bagaimanapun hasilnya, aku tetap bersyukur dan berterimakasih kepada Allah SWT yang masih memberi keselamatan hingga sekarang. Dan kepada Ibu dan pamanku yang telah merawatku dengan kasih sayang yang tak terhingga.

Dengan pengalaman yang aku tuliskan dalam cerita ini, semoga sedikit bisa mengingatkan kita semua untuk tidak berbuat ceroboh dalam hal apapun. Dan menjadikan kita lebih hati-hati dalam melakukan sesuatu. Jangan sampai sebuah kelalaian sedikit, dapat membuat kita menyesal seumur hidup. Thank’s......

Selengkapnya......

Pengantar Ilmu Ushul Fikih

10 April 2009

Kalam (baca: Khitâb) Allah SWT pada hakikatnya bukan hanya al-Qur`an dan Sunnah saja, namun juga meliputi Ijmâ’ dan Qiyâs. Sangat jelas bahwa al-Qur`an adalah kalam Allah, baik lafadz maupun maknanya. Dan, Sunnah termasuk wahyu Allah secara makna, sedangkan lafadznya berasal dari Nabi Muhammad SAW. Maka, al-Qur`an disebut sebagai wahyu al-Matlu dan Sunnah sebagai wahyu Ghoiru Matlu.

Adapun terkait Ijmâ’, Nabi Muhammad SAW berkata : ”umatku tidak akan bersepakat dalam kesalahan”. Hadits ini merupakan dalil Ijmâ’. Dan Qiyâs merupakan sumber hukum Islam yang dihasilkan dari sebuah proses ijtihad. Pada dasarnya, Ijmâ’ dan Qiyâs sama-sama dihasilkan melalui proses ijtihad. Bedanya, jika Ijmâ’ merupakan kesepakatan para mujtahidîn (bersifat kelompok), maka Qiyâs bisa dilakukan oleh seorang mujtahid (bersifat personal).

Lalu ada sebuah pertanyaan,”mengapa Qiyâs termasuk khitâb Allah, padahal ia dihasilkan dari ijtihad yang memungkinkan terjadinya kesalahan?”


Memang, Qiyâs dihasilkan dari sebuah ijtihâd (sebuah proses usaha dalam menghasilkan hukum tertentu). Jika ijtihâd itu benar, maka secara dzohir ia termasuk hukum Allah. Dan jika ijtihâd itu salah, maka tidak dianggap sebagai hukum Allah SWT. Karena, Allah SWT terbebas dari pada kesalahan.

Dengan ini, jelas sangat dibutuhkan sebuah kemampuan yang baik dalam melakukan sebuah ijtihâd, ber-istinbât (menggali) hukum dari sumber-sumbernya. Karena jika kemampuan tersebut tidak dimiliki dalam diri sebagian manusia, akan berakibat terjadi banyak permasalahan yang muncul tentang keagamaan, karena ijtihad adalah titik penghubung antara khithab Allah dan umat-Nya.

Ilmu yang mempelajari bagaimana metode serta cara mengambil hukum dari sumbernya, bagaimana menjadi seorang mujtahid yang memiliki kababilitas yang baik, dan bagaimana menggali sebuah hukum sebagai solusi qhodhiyah mu’ashiroh yang muncul? Semua itu terangkum dalam disiplin ilmu yang disebut dengan Ushul Fiqih. Dalam kesempatan ini penulis akan mencoba memaparkan mabadi’ ilmu ushul fiqih, yang selengkapnya sebagai berikut!

Pengertian Ilmu Ushul Fiqih

Pengertian ushul fiqih dapat dibagi menjadi dua. Ushul fiqih secara susunan idhofi, dan ushul fiqih sebagai ‘alam yaitu ilmu yang berdiri sebagai disiplin ilmu tersendiri atau laqoby.

Ushul fiqih secara susunan idhofi

Dikatakan sebagai susunan idhofi, karena ushul dan fiqih jika dipisahkan memiliki arti masing-masing. Maka penulis mencoba menguraikan arti ushul dan arti fiqih.

a. Ushul merupakan jama’ dari kata al Ashlu, yang secara bahasa berarti :
ما يِِِبتنى عليه غيره

Sedangkan secara istilah al Ashlu memiliki beberapa arti, diantaranya :
الصورة المقيس عليها
Suatu asal hukum yang terdapat dalam Al-Qur`an. Contoh : khomr

الرجحان
Sesuatu yang dibenarkan. Contoh : al ashlu fi al kalam al haqiqoh.
القاعدة المستمرّة
Sebuah qaidah yang terus menerus (tetap). Contoh : ibahatul maitah lil mudhthorri ‘ala khilafi adz dzohir.
الشيء المستصحب
Yaitu tetapnya sebuah hukum seperti yang telah ada. Contoh : al ashlu baqa’u ma kana ‘ala ma kana.
الدليل
Yaitu sebagai dalil landasan suatu hukum (sumber hukum). Contoh : Al-Qur`an, Sunnah.

b. Al fiqhu, secara bahasa berarti al ilmu dan al fahmu . Sedangkan secara istilah :
العلم بالاحكام الشرعيّة العمليّة المكتسب من أدلّتها التفصيليّة
Keterangan sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya.

Ushul fiqih sebagai salah satu disiplin ilmu yang tersendiri. Atau yang sering disebut dengan makna Laqobi.

Ada beberapa pengertian tentang ushul fiqih sebagai salah satu disiplin ilmu. Diantaranya :
Al Imam ar Rozy :
مجموع طرق الفقه على سبيل الاجمال وكيفية الاستدلال بها وكيفية حال المستدل بها.
Imam al Baidhowi :
معرفة دلالة الفقه اجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفد
Ibnu Hajib :
العلم بالقواعد التى يتوصل بها الى استنباط الاحكام الشرعيّة الفرعيّة من أدلّتها التفصيليّة.

Objek Pembahasan Ushul Fiqih

Menurut para ahli manthiq, bahwa objek setiap ilmu adalah segala hal yang dibahas di dalamnya. Hal disini terdiri dari sesuatu yang fitrah untuk menjadi pembahasan, bagian dan lain sebagainya. Maka objek pembahasan ushul fiqih sesuai dengan pendapat para ulama’, hanya berkisar antara ad Dalil al Kulli dan al Hukmu al kulli.

Ad dalil al kulli adalah bentuk-bentuk umum dari pada dalil-dalil yang terdiri dibawahnya berbagai dalil juz’i seperti al ‘amru, an nahyu, al ‘am, al muthlaq, al Ijma’ as shorikh dan al Ijma’ sukuti. Sedangkan al hukmu al kulli adalah bentuk-bentuk hukum yang bersifat umum dimana terdiri dibawahnya beberapa hukum juz’i. Seperti ijab, tahrim, mandub, shihhah, buthlan dan lain sebagainya.

Selain itu, dalam muqoddimah kitab Nihayatussul karangan Al Isnawi, diterangkan tentang pembahasan dalam ilmu ushul fiqih meliputi tiga hal yang sesuai dengan devinisi dari Imam al Baidhowi, yaitu :

Mengetahui dalil-dalil syar’i secara global, tatacara pengambilan hukum dari dalil-dalil tersebut, dan mengetahui sifat serta syarat-syarat seorang mujtahid.

Catatan : pada dasarnya objek pembahasan ushul fiqih kesemuanya itu, tidak memiliki perbedaan yang mendasar. Sedangkan objek pembahasan ilmu fiqih adalah fi’lul mukallaf.

Al Ghoyah al Maqshudah/ Tujuan dari pada Ushul Fiqih

Tujuan adanya ilmu ushul fiqih sesuai kesepakatan para ulama’ adalah penerapan qaidah dan teori-teori atas dalil-dalil yang detail(tafshil) agar sampai kepada hukum-hukum yang menunjukkannya.

Catatan : sedangkan tujuan dari ilmu fiqih adalah penerapan hukum-hukum syar’i terhadap perbuatan manusia.

Istimdad Ilmu Ushul Fiqih

Para ulama’ ushul menyebutkan bahwa istimdad ilmu ushul fiqih ada tiga hal. Diantaranya, ilmu kalam, ilmu bahasa arab dan ahkam syar’iyyah.

Ilmu kalam
Hubungannya yaitu sebelum kita lebih jauh mempelajari ilmu ushul fiqih ataupun ilmu yang lain, maka kita hendaklah memiliki aqidah yang lurus, mengimani Allah SWT beserta sifat-sifatnya. Dan meyakini kebenaran rosul-Nya sebagai penyampai risalah Ilahiyyah.

Bahasa Arab
Hubungannya bahwa bahasa arab adalah bahasa Al-Qur`an yang merupakan sumber hukum nomer satu. Dan semua hal pembahasan ilmu ushul fiqih pada dasarnya diambil dari Al-Qur`an. Maka, bahasa arab ini sangat penting kedudukanya dalam mempelajari ilmu ushul fiqih.

Al Ahkam as Syar’iyyah
Keterkaitan antara ushul fiqih dengan ahkam syar’iyyah yaitu sebelum kita mengetahui maudhu’ ilmu ushul fiqih, hendaknya kita memiliki tashowwur atau gambaran mengenai bagaimana hukum syar’i dan pembagiannya.

Hukum Mempelajari Ilmu Ushul Fiqih

Meminjam kata-kata dari makalah KAJIAN REGULER MISYKATI yang ditulis oleh ust. Munafidzu Ahkamirrohman, Lc. Yang sesuai dalam buku Al Hukm al Syar’i ‘inda al Ushuliyyin, karangan Dr. Ali Jum’ah. Bahwa hukum mempelajari ilmu ushul fiqih adalah wajib kifayah.

Kemunculan dan Perkembangan Ilmu Ushul Fiqih

Ushul fiqih ada semenjak adanya fiqih. Maka kapan pun fiqih itu muncul, ushul fiqih pun disana ada. Karena ushul fiqih adalah rangkuman qaidah dan kriteria sebagai patokan fiqih. Hal tersebut adalah termasuk komponen utama dalam ushul. Akan tetapi fiqih lebih dahulu dibukukan dari pada ushul fiqih, walaupun keberadaannya bersamaan dengan fiqih. Dalam artian, fiqih telah dibukukan, permasalahan, qaidah dan bab-bab fiqih telah ada sebelum dibukukannya ilmu ushul fiqih.

Hal ini bukan berarti ilmu ushul fiqih baru muncul setelah dibukukannya ilmu ini. Atau bahwa para ulama’ belum mempunyai sebuah qaidah, kriteria ushul dalam menentukan hukum fiqih. Namun yang terjadi adalah bahwa para ulama’ mulai dari sahabat Nabi SAW telah memiliki kemampuan pengambilan hukum sesuai dengan kriteria ini. Mereka waktu itu sama sekali tidak membutuhkan kriteria ini. Dengan kebersamaan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, menjadikan mereka memiliki kemampuan yang luar biasa dalam masalah pengambilan hukum.
Sebagaimana biasanya bahwa sesuatu yang ada maka dibukukan. Dan pembukuan adalah sebagai bukti adanya sesuatu itu, bukan tanda awal munculnya sesuatu. Sebagi contoh, dalam ilmu bahasa.

Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW adalah penyampai wahyu dari Allah SWT kepada hamba-Nya. Maka pada masa ini belum membutuhkan ushul fiqih. Karena Nabi Muhammad SAW sebagai marja’ bagi para sahabat ketika mendapati sebuah permasalahan. Maka waktu itu tidak ada ijtihad. Jika tidak ada ijtihad, maka tidaklah membutuhkan istimbat hukum dan qaidah.

Masa Sahabat
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW terjadilah berbagai persoalan keagamaan, yang memaksa para sahabat untuk melakukan pengambilan hukum dari sumbernya atau yang kita sebut dengan ijtihad. Namun para sahabat belum membutuhkan sebuah kriteria ijtihad, dan tatacara beristimbat. Karena para sahabat memiliki kemampuan yang sangat baik dalam pengambilan hukum dari sumbernya. Hal ini terjadi karena beberapa faktor. Diantaranya, kebersamaan para sahabat dengan Nabi Muhammad SAW sehingga mereka kebanyakan mengetahui Asbabu an Nuzul, wurudu al Hadits, ‘illatu at Tasyri’ dan hikmahnya. Sehingga mereka memiliki kemampuan yang tinggi dalam hal keagamaan.

Masa Tabi’in
Pada masa ini keadaan masih sama dengan sebelumnya, masa sahabat. Karena tabi’in adalah orang yang langsung bertemu dengan sahabat. Maka mereka mendapatkan bekal ilmu agama langsung dari para sahabat. Selain kemurnian dan kesungguhan para tabi’in, mereka juga mendapat lisensi dari Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa sebaik-baiknya masa adalah masaku(termasuk sahabat), kemudian masa setelahnya(tabi’in) dan kemudian masa setelahnya(tabi’i tabi’in). Sehingga mereka, para tabi’in, juga memiliki kemampuan tinggi dalam pengambilan sebuah hukum dari sumbernya sebagaimana para sahabat. Maka belum ada kebutuhan untuk membukukan ushul fiqih.

Masa Tabi’i Tabi’in
Setelah habisnya masa tabi’in, ekspansi Islam sangat meluas. Dan lebih banyak terjadi masalah-masalah yang baru dengan bercampurnya bangsa selain arab ke dalam Islam. Maka banyak sekali ijtihad dari para mujtahid, munculnya berbagai cara dalam beristimbat hukum dan meluasnya munaqosah dan perdebatan yang digawangi oleh Madrosatu ar Ro’yi dan Madrosatu al Hadits. Yang menjadikan kesalahpahaman hingga menyalahkan satu dan lainnya mengenai perdebatan ini. Maka pada masa ini sangat dibutuhkan adanya pembukuan sebuah qaidah dan kriteria serta tatacara beristimbat atau yang kita sebut dengan ilmu ushul fiqih.

Diakatakan bahwa yang pertama kali menyusun ushul fiqih dalah Abu Yusuf Shohibu Abi Hanifah. Akan tetapi karangan beliau tidak sampai kepada umat sesuadahnya.

Dan yang paling diakui bahwa penyusun ilmu ushul fiqih pertama kali adalah Muhammad bin Idris as Syafi’i, dengan karyanya Ar Risalah. Wafat pada 204 H.

Kitab Ar Risalah ini berisikan tentang Al-Qur`an dan penjelasannya terhadap hukum-hukum, penjelasan Sunnah terhadap Al-Qur`an, Ijma’, Qiyas, nasikh dan masukh, al ‘amr, an nahyu berhujjah dengan Khabar wahid dan sebagainya dari pembahasan-pembahasan ushuliyyah.

Sebagaimana setiap sesuatu yang ada, berjalan dari masa kecilnya dan berkembang. Maka berawal dari Ar Risalah, berkembang setelahnya beberapa kitab ushul fiqih yang mensyarahi ar Risalah dari abad ke tiga hingga ke empat. Akan tetapi karangan-karangan tersebut tidak sampai kepada kita.

Corak dan Metode Ulama’ dalam Menyusun Ilmu Ushul Fiqih

Dalam menyusun sebuah metode ushul fiqih, para ulama’ pun tidak dalam metode yang sama. Setidaknya ada dua metode yang muncul pada masa pambukuan ilmu ini, dan muncul metode lain(muta’akhirin). Dua metoe awal ini adalah metode Mutakallimin dan Hanafiyyah.

1. MetodeUlama’ Mutakallimin (as Syafi’iyyah)
Kelompok ini terdiri dari ulama’ syafi’iyyah dan ulama’ malikiyyah. Yaitu memisahkan qaidah-qaidah ushuliyyah secara tersendiri, tanpa mempertimbangkan furu’ antara suatu madzhab dan yang lainnya. Kelompok ini lebih condong kepada pengambilan dalil ‘aqli.

Toriqoh Mutakallimin juga ditandai dengan pengokohan sebuah qaidah yang berdasarkan dalil mantiqi, tanpa adanya ta’asshub terhadap madzhab tertentu. Sebagaimana yang sering dibiasakan oleh Mu’tazilah, mereka selalu menggunakan dalil ‘aqli. Dengan ini, maka qaidah ini berlaku sebagai qaidah yang menghakimi furu’-furu’ yang ada di bawahnya dan tidak tunduk terhadap furu’-furu’. Maka dalam kitab-kitab yang mengikuti thoriqoh ini tidak memperbanyak furu’-furu’. Kalaupun ada biasanya hanya sebatas contoh untuk mempermudah pembaca dalam memahami qaidah.

Kitab-kitab Penting yang Dikarang Menurut Metode Mutakallimin

a. Al ‘Ahdu atau Al ‘Amdu yang dikarang oleh Al Qodhi Abdul Jabbar bin Ahmad al Hamdzani al Mu’tazili. Wafat 451 H.

b. Al Mu’tamad karya Abu Husain al Bashri. Wafat 436 H. kitab ini adalah Syarh dari kitab karya al Qodhi Abdul Jabbar.

c. Al Burhan karya Imam Haromain; Abdul Malik bin Yusuf al Juwaini. Wafat 478 H.

d. Al Mushtashfa karya Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghozali. Wafat 505 H. al Ghozali adalah murid Imam Haromain.

Kitab-kitab diatas adalah kitab pokok yang dihasilkan melalui metode mutakallimin. Kemudian keempat kitab diatas diringkas oleh dua imam besar, mereka adalah :

a. Fakhruddin Muhammad bin Umar bin al Husain ar Rozi. Wafat 606 H. Dengan karyanya kitab Al Mahshul.

b. Saifuddin ‘Ali bin Abi ‘Ali bin Muhammad al ‘Amidy. Wafat 631 H. beliau meringkas dari keempat kitab di atas dan dinamakan kitab Al Ihkam fi Ushul al Ahkam.

Dengan adanya kedua ulama’ ini, maka para ulama’ setelahnya mulai meringkas kembali, dan mensyarahi kedua kitab ini.

Imam Usman bin ‘Umar bin al Hajib, wafat 646 H. Meringkas kitab al Ihkam , dan kitabnya diberi nama Al Mukhtashor al Kabir kemudian kitab ini diringkas kembali oleh beliau dan dinamai kitab Mukhtashor al Muntaha. Dari kitab ini pula, banyak ulama’ setelahnya yang mensyrahi hingga hasyiahnya.

Sedangkan kitab al Mahshul diringkas lebih dari satu, hingga Imam ar Rozi sendiri dan di beri nama al Muntakhob. Sebagaimana al Qodhi Tajuddin Muhammad bin Husain al Armawi. Wafat 656 H. dan diberi nama Al Hashil. Melihat betapa pentingnya kitab ini, dengan ‘ibarah-‘ibarah yang tajam, maka para ulama’ juga banyak yang mensyarah kitab ini, seperti dua ulama’ besar waktu itu :

a. Al Qodhi Abu Abdillah al Qufthi. Wafat 736 H. dan menamai kitabnya Tuhfatu al Washil fi Syarh al Hashil.

b. Al Qodhi Abdullah bin Umar al Baidhowi. Wafat 685 H. dan menamakan kitabnya dengan Minhaj al Wushul ila ‘Ilm al Ushul. Kitab ini juga menjadi perhatian banyak ulama’ dan mulai mensyarahnya hingga lebih dari 40 syarh kitab. Dan yang paling penting dan masyhur diantara syarh kitab Minhaj adalah syarh Imam Isnawi yang dinamakan Nihayat as Sul Syarh Minhaj al Wushul. Wafat 772 H.

2. Metode Ulama’ Hanafiyyah
Para ulama’ Hanafiyyah berbeda dengan ulama’ Mutakallimin. Metode yang mereka terapkan adalah menetapkan qaidah sesuai yang ditunjukkan oleh furu’-furu’. Dinama furu’-furu’ tersebut telah ditinggalkan oleh para imam thoriqoh ini. Mereka akan merubah qaidah jika qaidah tersebut bertentangan dengan furu’yang ditetapkan imamnya.

Walaupun mereka meletakkan qaidah ushuliyah yang terbangun dari pada furu’-furu’ yang ada, namun jika ada perbedaan antara qaidah dan furu’, maka qaidahlah yang akan ditinjau ulang. Dalam kitab-kitab yang dikarang melalui metode ini sangat banyak menyebutkan furu’-furu ataupun masalah far’iyyah. Hal ini lebih ditengarai oleh para Imam-imam Hanafiyyah yang tidak meninggalkan kitab ushul sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Syafi’i.

Kitab-kitab yang Dikarang Melalui Metode Hanafiyyah
a. Ushul Abi Zaid ad Dabusi. Wafat 430 H.
b. Ushul Abi Bakr Ahmad bin ‘Ali. Yang terkenal dengan Al Jashosh. Wafat 370 H.
c. Ushul Syamsul ‘A’immah al Sarkhosi. Wafat 428 H.
d. Ushul Fakhrul Islam al Bazdawi. Wafat 482 H. kitan ini merupakan kitab yang terbaik sebagai kitab mutaqoddimin.
e. Ushul al Kurkhi, karya Abu al Hasan al Kurkhi. Wafat 430 H.

3. Metode Muta’akhirin
Dengan berjalannya zaman dan berkembangnya keilmuan dalam ushul fiqih, maka ada sekelompok ulama’ yang berusaha menggabungkan kedua metode di atas.

Diantara Kitab-kitab yang Dikarang Melalui Metode Muta’akhirin

a. Badi’u an Nidzom, karya Mudzoffaruddin Ahmad bin Ali as Sa’ati al Baghdadi al Hanafi. Wafat 694 H. di dalamnya terdapat penggabungan antara ushul Bazdawi dan kitab al Ihkam.

b. Tanqih al Ushul karya Ubaidillah bin Mas’ud al Bukhori al Hanafi. Wafat 747 H. di dalamnya terdapat penggabungan antara ushul Bazdawi dan al Mahshul.

c. Jam’u al Jawami’ karya Tajuddin Abdul Wahab bin ali as Subki as Syafi’i. Wafat 771 H.
d. At Tahrir karya Al Kamal bin al Hilal al Hanafi. Wafat 861 H.
Ilmu ushul fiqih terus berkembang dengan adanya kitab-kitab karangan para ulama’ dari ulama’ mutaqoddimin hingga ulama’ muta’akhirin. Kenudian muncul juga kitab Al Muwafaqot karya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa as Syathiby. Wafat 780 H. karya-karya ulama’ ushuliyyin belum habis sampai disini.

Ada beberapa kitab ushul yang merupakan kitab untuk mempermudah para mahasiswa yang belajar di Universitas Al Azhar dan majlis ilmu lainnya, seperti :
a. Irsyadu al Fuhul karya Muhammad bin Ali bin Muhammad al Syaukani. Wafat 1255 H.
b. Ushul al Fiqh karya Muhammad Khudhori Bek. Wafat 1345 H.
c. Ilmu al Ushul karya Abdul Wahab Kholaf.
d. Ushul al Fiqh karya Muhammad Abu Zahroh. Wafat 1974 M.

Demikianlah uraian pengantar ilmu ushul fiqih secara singakat. Dan ini hanyalah sebuah usaha pemindahan materi dari sumber-sumber dan buku ushul fiqih. Semoga Allah memberi manfaat kepada kita semua, amin.




Selengkapnya......

Imam Abu Hanifah

01 April 2009

Madzhab hanafi adalah madzhab yang paling awal munculnya dibanding tiga madzhab besar lainnya. Madzhab Hanafi dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah an Nu’man bin Tsabit bin Zutha. Imam Abu Hanifah dilahirkan di Kufah tahun 80 H. dan wafat di Baghdad pada tahun 150 H.

Imam Abu Hanifah termasuk sebagai tabi’in, karena beliau sempat bertemu dengan sahabat Anas bin Malik, Abdullah bin Abi Aufa, Sahal bin Sa’ad as Sa’idi dan Abu Thufail ‘Amir bin Wa’ilah. Dan Imam Abu Hanifah juga meriwayatkan beberapa hadits dari mereka. Sebagaimana bapak beliau, Tsabit, yang bertemu dengan Khalifah Ali bin Abi Tholib r.a. yang kemudian mendo’akan agar mendapat barakah dalam keluarganya.


Imam Abu Hanifah hidup dalam keluarga pedagang di Kufah. Yaitu pedagang kain Khozz (salah satu jenis sutera). keluarga Imam Abu Hanifah juga telah menyerukan agama islam setelah bapaknya (Tsabit) bertemu dengan Imam Ali r.a.

Pada mulanya Imam Abu Hanifah berkonsentrasi untuk menghafal al qur’an seperti yang dilakukan para memeluk agama islam masa itu. Setelah selesai menghafal al qur’an, kemudian beliau mempelajari sunnah dan juga mempelajari ilmu nahwu, adab, sya’ir dan mendiskusikan kelompok-kelompok yang berbeda dalam masalah i’tiqodiyyah. Imam Abu Hanifah juga pergi ke Bashroh untuk melakukan diskusi ini. Dan terkadang menetap di sana demi melakukan diskusi dalam waktu yang lama. Lalu setelah itu, Imam Abu Hanifah mulai mempelajari ilmu fiqih.

Sesuai keterangan di atas, bahwa Imam Abu Hanifah mulai dari kecil telah melakukan kegiatan perdagangan hasil waris dari keluarganya. Maka beliau meneruskan keterampilan keluarganya itu sebagai sumber penghidupan. Sehigga kebanyakan beliau menghabiskan waktunya dalam kegiatan mua’amalah. Dengan ini maka beliau mendapat banyak pengalaman dan pengetahuan dalam masalah mu’amalah.

Kedekatan Imam Abu Hanifah kepada Ulama’

Imam Abu Hanifah merupakan sosok seorang yang sangat cerdas, cekatan, memiliki kecerdasan manthiq yang bagus sehingga para ulama waktu itu sangat menghargainya dan menganjurkan berguru kepadanya. Dalam salah satu riwayat dari Imam, beliau berkata: “ suatu hari aku berjalan melintasi depan as Sya’bi, Dia duduk lalu memanggil dan berkata kepadaku :”mau pergi kepada siapa?” Aku menjawab :” saya mau pergi ke pasar”. Dia berkata :”maksud saya bukan pergi ke pasar, melainkan mau pergi kepada ulama’ “. Maka saya berkata :” saya sedikit sekali berbaur dengan para ulama’”. Dia berkata kepadaku lagi:” jangan lupa bahwa kewajibanmu adalah belajar ilmu dan mendatangi majlis para ulama’. Sesungguhnya aku melihat semangat kewaspadaan dan keterampilan ada dalam dirimu”.Imam Abu Hanifah berkata:” perkatannya telah masuk di dalam hatiku. Maka aku menangguhkan pergi ke pasar dan berpaling kepada ilmu. Maka Allah SWT memberikan manfaat kepadaku melalui perkataan itu”.

Imam Abu Hanifah benar-benar cerdas dan pandai dalam ilmu kalam dan berkecimpung dalam ilmu ini. Sehingga beliau memiliki pendapat-pendapat yang dirangkum dalam berbagai kitab mengenai ilmu ini. Namun setelah itu, beliau kembali berpikir dan meninggalkan dunia ilmu kalam untuk berpaling ke dalam ilmu fiqih. Hal ini karena beliau mengikuti para Sahabat radhiyallohu ‘anhum, yang mana mereka berkecimpung dalam masalah fiqih dan tidak masuk pada dunia ilmu kalam. Padalah para sahabat mempunyai kapasitas keilmuan yang sangat tinggi dan tahu hakikat dari semua perkara. Dan karena ilmu fiqih merupakan ilmu yang mencakup permasalahan dunia dan akhirat.

Imam Abu Hanifah juga berusaha keras dalam mendalami ilmu fiqih khususnya pada empat macam fiqih yaitu : fiqihnya ‘Umar bin Khottob yang terangkum dalam kemashlahatan, fiqihnya Ali bin Abi Tholib yang terangkum dalam masalah istimbath dan hakikat dari syari’ah, ilmu Abdullah bin Mas’ud yang terangkum dalam Takhrij, dan ilmu Abdullah bin Abbas yaitu ilmu al qur’an dan pemahamannya.

Abu Ja’far yang telah sampai pada tingkatan ulama’ besar pun bertanya kepada Imam Abu Hanifah :” wahai Nu’man dari siapa kamu mengambil ilmu? Abu Hanifah menjawab :” dari pengikut Umar bin Khottob dari Umar bin Khottob, dari pengikut Ali dari Ali, dari pengikut Abdulloh bin Mas’ud dari Abdulloh bin Mas’ud, dan dari pengikut Ibnu Abas dari Ibnu Abbas”.

Masyayikh Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah memiliki beberapa guru besar yang menjadikan Imam Abu Hanifah sebagai ulama’ besar, menjadi seorang Faqih handal, dam mengetahui solusi permasalahan secara mendetail.

Waktu itu Kufah benar-benar menjadi sebuah kota yng memiliki banyak ulama’ besar. Diantaranya Hamad bin Abi Sulaiman dinama merupakan guru Imam Abu Hanifah yang pertama di dalam ilmu fiqih. Imam Abu Hanifah belajar darinya tentang segala macam ilmu fiqih dan metodenya. Abu Hanifah berguru kepadanya selama kurang lebih 18 tahun sehingga pada suatu hari Hamad bin Abi Sulaiman pun bertanya kepada Imam Abu Hanifah :”apakah kamu ingin melampoiku wahai Abu Hanifah?”. Ini merupakan sindiran bagi Abu Hanifah yang begitu lama mengambil ilmu darinya.

Sedangkan Hamad bin Abi Sulaiman berguru kepada Ibrahim an Nakh’i. Dan Ibrahim an Nakh’i berguru kepada ‘Alqomah an Nakh’i yang berguru kepada Abdulloh bin Mas’ud seorang sahabat yang terkenal dengan ilmu fiqih dan pendapatnya yang banyak. Imam Abu Hanifah juga berguru kepada beberapa ulama’ tabi’in seperti Atho’ bin Abi Robah, dan Nafi’ Maula Abdulloh bin Umar. Dan Imam Abu Hanifah juga menyiapkan waktu khusus ketika haji untuk bertemu dan berdiskusi dengan para ulama’ Hijaz yang mana menambah khazanah keilmuan dan belajar pula thariqah para fuqoha’.

Imam Abu Hanifah sendiri tidak memiliki karangan khusus. Namun Imam memiliki murid-murid seperti Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Zufar bin al Huzail yang mana mereka menjadi ulama besar yang menyebarkan ajaran-ajaran madzhab Imam Abu Hanifah. Sehingga madzhab Imam Abu Hanifah ini menjadi salah satu madzhab besar dan paling awal munculnya dibanding tiga madzhab lainnya, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i dan madzhab Hambali.Dan madzhab ini meluas ke suluruh penjuru dunia.


Selengkapnya......