Halal bi Halal
Merupakan sebuah tradisi di Indonesia, yaitu saling minta maaf antara satu sama lain atau yang sering disebut dengan halal bi halal. Kegiatan ini dilakukan pada setiap hari raya Idul Fitri yang menjadikan hal ini sebagai sebuah tradisi. Mayoritas muslim Indonesia menganggap tradisi ini merupakan hal yang penting, buktinya kegiatan ini terjadi pada setiap hari raya idul fitri dan selalu khas dengan kata ”mudik”, artinya orang – orang yang bekerja di Ibu kota atau di kota besar lainnya pulang pada hari itu untuk bersilaturrrahim kepada sanak saudara di kampung halaman masing - masing. Walaupun hanya mendapat kesempatan libur satu minggu, atau bahakan kurang dari itu, masyarakat yang tinggal semisal di ibu kota Jakarta, mereka tetap menyempatkan pulang hanya untuk bertemu sanak saudara di kampung halaman.
Kata halal bi halal merupakan sebuah susunan kata bahasa arab. Kata “bi ” pada halal bi halal disini menunjukkan adanya sebuah proses “muqobalah” antara dua belah pihak. Artinya ada semacam pertukaran suatu hal di dalamnya yang kedua orang tersebut saling menerima. Seseorang yang berhalal bi halal adalah orang yang akan meminta kehalalan dari pada kesalahannya kepada orang yang juga mempunyai tujuan yang sama. Maka akan terjadi sebuah saling penghalalan kesalahan antara kedua orang yang melakukan halal bi halal. itulah sedikit analisa yang mungkin masih banyak lagi penafsiran - penafsiran dari halal bi halal.
Budaya Halal bi Halal
Secara umum halal bi halal ini merupakan sebuah proses meminta maaf kepada orang lain dimulai kepada kedua orang tua, kerabat terdekat hingga teman – teman yang dikenal. Atau diadakan acara besar besaran yang menghadirkan warga masyarakat yang kemudian melakukan salam salaman secara berjamaah untuk saling memaafkan. Agar pada nantinya orang tidak perlu keliling desa, dari tetangga ke tetangga yang lain untuk meminta maaf.
Sebagai contoh adalah Proses minta maaf yang ada di tanah jawa yang sering kita sebut dengan kata “ Sungkeman”. Sungkeman yang ada pada tanah jawa ini biasanya dilakukan setelah sholat ‘Ied dengan mengumpulakan segenap keluarga dari kakek hingga cucu. Kemudian melakukan proses sungkeman dari yang muda kepada yang lebih tua. Yang paling tua duduk di kursi lalu yang lainnya berurutan untuk “Sungkem” minta maaf serta do’a restu darinya. Hal ini bukanlah sebuah simbol untuk menunjukkan kerendahan dari satu pihak, akan tetapi merupakan sebuah hal yang terpuji. Melakukan penghormatan terhadap orang yang lebih tua. Dengan adanya hal semacam ini, maka tak heran jika banyak orang yang berada di tempat yang jauh mau menyempatkan waktunya untuk sekedar mengikuti moment ini.
Asal mula Halal bi Halal
Memang hal semacam ini hanya terjadi di negeri Indonesia tercinta saja. Dan tidak terjadi di tempat lain semisal di negri arab, mesir dan yang lainnya. Halal bi halal sudah terjadi sejak lama. Dan asal mula halal bi halal juga sedikit sekali yang mengetahuinya. Walaupun dalam prakteknya orang Indonesia sangat rutin melakukannya. Sesuai dengan tulisan Drs. H. Ibnu Djarir (ketua MUI Jateng) bahwa sejarah asal mula halal bihalal ada beberapa versi. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan Keraton Surakarta, bahwa tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.
Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam, dengan istilah halal bihalal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bihalal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama.
Kegiatan salam salaman setelah sholat dan minta maaf pada hari raya idul fitri memang bukanlah sebuah perintah agama, yang diperintahkan adalah minta maaf ketika telah melakukan setiap kesalahan, kapan pun itu. Tidak hanya pada idul fitri saja melainkan tanpa batasan waktu. Namun para ulama Indonesia yang terdahulu tanpaknya sangat ingin mewujudkan dari pada tujuan untuk meningkatkan iman dan taqwa. Dengan adanya idul fitri yang berarti kembali kepada fitrah, kesucian dan kembalinya manusia diperbolehkan makan, minum pada siang hari. Maka para ulama’ terdahulu pun membuat sebuah metode “tarbiah ruhiyyah” melalui moment ini.
· Yang perama; Sebulan penuh umat islam malakukan ibadah puasa menahan lapar dan dahaga dari terbitnya fajar hingga waktu maghrib, yang bertujuan untuk mensucikan diri, menggembleng kesabaran, menahan nafsu dan lain sebagainya untuk meningkatkan ketaqwaan manusia.
· Yang kedua; Umat islam diberikan pula kesempatan untuk menunaikan rukun islam yang ketiga yaitu zakat fitrah, paling lambat sebelum menunaikan sholat ‘ied, untuk mensucikan diri agar menjadi hati yang suci. Merelakan 2,5 % dari hartanya untuk mensucikan harta yang dimiiki. Yang kemudian diberikan kepada delapan ashnaf yang berhak mendapatkannya, dan diantaranya adalah faqir miskin juga dari anak anak yatim. Hal ini ditujukan agar pada nanti ketika mayoritas umat muslim merayakan kegembiraannya pada hari raya, setidaknya tidak ada segolongan umat yang sengsara ataupun kekurangan makan pada hari itu. Itu salah satu hikmahnya.
· Dan yang terakhir adalah Halal bi Halal yang merupakan proses saling maaf memaafkan antar sesama. Nah, yang terakhir ini merupakan sebuah langkah pembersihan dari semua kesalahan yang berhubungan dengan sesama manusia. Setelah kita melakukan ibadah yang bersifat vertikal (hablum minallah) pada bulan romadhon, kemudian kita melakukan ibadah yang bersifat horizontal (hablum minannas) dalam halal bi halal agar proses pensucian diri benar benar tersapu bersih sehingga menambah ketaqwaan umat islam kepada Allah SWT. Yang mempunyai dosa kepada allah langsung meminta ampun kepada-Nya, dan yang punya salah kepada sesama bisa meminta maaf pada saat halal bihalal tersebut.
Sebuah ketaqwaanlah yang sekiranya menjadi tujuan dari metode “tarbiyah ruhiyyah ” ini. Walaupun secara khusus agama tidak memerintahkan agar melakukan halal bi halal bejabat tangan setelah sholat ‘iedul firi, namun hal yang tidak diperintahkan secara khusus bukan berarti sebuah hal yang dilarang dalam agama. Selama kegiatan itu tidak bertentangan dengan Syari’at islam. Bahkan halal bi halal ini sangat banyak mengandung manfaat selain untuk menyambung tali silaturrahim.
Fenomena diatas merupakan sebuah akulturasi antara budaya jawa dan ajaran islam. Dengan melihat sejarah "sungkeman" yang diawali oleh Pangeran Sambernyawa dan ajaran islam untuk senantiasa meminta maaf apabila telah melakukan kesalahan. Maka terbentuklah halal bi halal.
Dan kegiatan ini perlu dipertahankan serta dilestarikan, karena sangat banyak mengandung hikmah dan manfaat bagi kemaslahatan. Inilah salah satu bukti dari kecerdasan dan kearifan para ulama’ Indonesia yang terdahulu. Dalam melakukan sebuah percampuran budaya jawa dan ajaran islam tidaklah dengan tanpa dasar, melainkan dengan sebuah istinbath yang sesuai dengan alqur’an dan sunnah. Semangat dakwah sangatlah dipegang serta jeli dalam merespon atas berkembanganya zaman.
1 komentar:
hoi sin.....
keren juga
Posting Komentar