Perdana di FORDIAN

05 April 2010


Sama sekali aku tidak mengira kehadiranku dalam acara FORDIAN akan disuguhi sebuah wawasan yang demikian dalam dan luas. Memang beberapa hari sebelum ini aku sudah menerima makalah yang akan dibahas dalam acara itu. Yaitu, satu makalah tentang Naskhu at Tilawah dalam al Qur’an oleh Sdr. Rois Fata (mahasiswa kuliah syari’ah tingkat 4 al Azhar)dan Naskh dalam ayat – ayat pedang yang akan dipresentasikan oleh Bpk. Wardani MA. (mahasiswa S3 IAIN Sunan Ampel yang sedang menyelesaikan desertasinya). Kedua makalah itu sedikit sudah saya baca. Namun sebagaimana biasanya, aku kurang focus dalam memahami makalah jika aku baca di rumah.


Dengan berbekal sedikit bacaan aku beranikan diri untuk berangkat menuju TKP, hay Tamin, dua jam sebelum jadwal diskusi dimulai. Aku akan membantu mempersiapkan logistic untuk acara itu dengan Mas Faiz. Karena memang acara ini sedikit lebih istimewa dengan kehadiran tamu dari Indonesia, Bpk. Wardani disbanding dengan acara reguler biasanya.

Setelah segala persiapan selesai, dan para peserta sudah hadir, acara diskusipun dimulai dengan moderator Sdr. Mujab dan presentator pertama adalah Sdr. Rois Fata. Dalam makalahnya, presentator memiliki panadangan dalam Naskhu at Tilawah. Menurutnya, dengan berbagai pertimbangan dalil dan syawahid yang ada, bahwa Dia tidak setuju dengan adanya Naskhu at Tilawah. Dengan alasan bahwa yang dignakan untuk menganulir (Naskh) bacaan (tilawah) datang dari hadits – hadits ahad yang notabenya yufidu adz Dzon. Sedangkan yang dianulir (Naskh) adalah mutawatir, yufidu al Yaqin. Bagaimana mungkin hadits ahad dapat menghapus ayat – ayat mutawatir?? Syubhat inilah yang menjadikan presentator memiliki pandangan “baru” itu.

Selain itu, Rois juga menuliskan beberapa perbedaan jumlah ayat – ayat yang mansukh (dihapus/dianulir) dalam al Qur’an. Diantaranya : Dari yang banyak seperti al Imam Muhammad bin Hazm bahwa jumlahnya mencapai 214 ayat. Al Imam Abu Qosim Hibatulloh bin Salamah 235 ayat. Al Imam Abdul Rohman bin Ali bin al Jauzi mencapai 274 ayat. Abu Ja’far an Nahhas 138 ayat. Al Imam Abdul Qodir al Baghdadi mencapai 66 ayat, hingga pada jumlah yang paling sedikit seperti Imam as Suyuti hanya 20 ayat.

Presentatorpun tidak luput dari penjelasan tentang sebab terjadinya perbedaan jumlah ayat yang di-Naskh tersebut. Menurutnya, bahwa sebab perbedaan itu adalah berawal dari pertentangan antara ayat satu dengan ayat yang lain dalam al Qur’an. Dengan bertentangan (ta’arudh) itu, maka para ulama’pun memiliki pandangan yang berbeda – beda dalam menilai ta’arrudh dalam ayat – ayat tersebut. Ada yang melihat bahwa beberapa ayat yang ta’arrud itu bisa digabung hukumnya (al jam’u wa at Taufiq) maka tidaklah berlaku Naskh pada ayat tersebut. Dan pada ayat yang sama ada ulama’ yang mengatakan ayat itu tidak bisa digabung hukumnya sehingga terjadilah Nasikh dan Mansukh. Begitu pula selebihnya.

Dalam pembahasan ini sebetulnya ada beberapa hal yang masih dapat diperdebatkan. Seperti kenapa presentator sedemikian berani dengan pendapatnya?? Dan beberapa hal lainnya yang belum sempat dibahas mengingat masih ada presentator lagi yang lebih inti, selain itu juga pertimbangan waktu yang semakin gelap.


Selengkapnya......

Tolong, Garudakanlah aku..!!!

09 Maret 2010


Setengah hari aku menjalankan badan ini dengan penuh kemalas – malasan. Planing ada, cuman baru setelah berkumandangnya adzan dzuhur teman akrabku itu, kemalas – malasan, sedikit mau dan rela untuk meninggalkanku. Maka, dengan adanya kesempatan itu kemudian aku terus bergegas untuk membersihkan diri, makan dan langsung mengejar setoran. Setoran al Qur’an dimulai ba’da ashar di samin, rumah kang faiz. Walaupun aku jalani hal itu dengan sedikit menahan rasa sakit pada lambung. Karena akibat dari makan sarimi yang terlalu pedas. Dan semoga tidak terjadi apa – apa. Tepat jam tiga sore aku dengan teman satu kamar, Atabik, menuju hay samin rumah Kang Faiz. Lumayanlah, seperempat hari sudah terisi dengan kegiatan yang sedikit manfaat.

Sesaat setelah selesai setoran, memang aku agak sedikit risau dengan jadwal yang ternyata numpuk dengan acara setoranku. Kajian Politik timur tengah yang membuat aku risau saat itu. Ketika dalam usaha mencari info tentang adanya kajian itu, Hpku berdering dan ternyata koordinator kajian yang menelpon. Sdr. Fadhlan namanya. Oklah kalau begitu. Segera aku pamitan dengan shohibul bait, Kang Faiz yang menjadi pembimbingku. Kemudian aku langsung meluncur ke rumah akar budaya Mesir.

Ok. Sesampaiku di rumah akar, peserta kajian belum berkumpul banyak sehingga kajian belum dimulai. Setelah menunggu beberapa menit, kajian yang membuatku risau itu dimulai juga. Peserta kajian cukup dihadiri 8 orang. Dan sebenarnya peserta lebih dari itu, namun beberapa dari mereka memiliki acara lain. Maklum saja, budaya masisir adalah suka berpoliorganisasi. Kajian itu dibuka langsung oleh koordinator kajian. Dan pembicaranya adalah Mus’ab Muqoddas yang pada gilirannya menerangkan tentang “ Alexander the Great of Macedonia defeats the persians and claims the middle east”. Ini adalah salah satu judul, yang ternyata kajian ini telah berjalan berjalan lima kali pertemuan. Sehingga aku, yang kali pertama masuk kajian itu ahistoris dengan tidak mengikuti kajian sebelumnya. Kajian ini benar – benar menbuatku menganga saat mendengarkan materi. Yaitu membahas sejarah alexander great yang hidup kurang lebih kurang 2 abad sebelum masehi. Itu adalah materi yang berat bagiku. Kata – kata aneh yang juga sulit diucapkan muncul dalam kesempatan ini seperti : gracius, jaxartes, kaukas, nabucatnosor dll. Itu hal yang sulit di ingat, diucapkan dan dipahami bagi saya. Dan mungkin tidak sampai begitu jika anda dalam posisi saya. Setelah mendengarkan beberapa tambahan dari para peserta kajian, dan saat ketika giliranku memberi tangapan, ya nggak banyak yang bisa aku katakan pada kesempatan itu. Hanya beberapa kata permohonan untuk dibimbing oleh teman – teman yang sudah mengenyam banyak tentang materi sejarah ini.

Hal itu jelas disebabkan atas sedikitnya pengetahuanku tentang kajian ini. Maka aku pun lebih tertarik mendengarkan tanggapan – tanggapan dari pada memperdengarkan sesuatu yang mungkin malah bisa keluar dari koridor pembahasan. Disana aku mengutarakan bahwa kedatanganku disini adalah sebagai anak ayam yang masuk lingkungan para elang. Baru saja bilang elang, salah satu peserta nyeletuk, “ bukan elang, tapi garuda”. Aku pun langsung mengamininya dan bilang, “iya, ini adalah sekelompok garuda, bukan elang”. Kenapa garuda?? Hmm.. ternyata yang komplain ini dalah Mus’ab Muqoddas. Memang dalam kelompok rumah akar budaya ini adalah rumahnya para nasionalis. Dan Mus’ab, adalah satu – satunya orang yang berani berkampanye pada pemilu tahun 2009 yang mengusung partai berlambangkan pohon beringin, yaitu simbol ketiga yang dari garuda pancasila. Lambang negara indonesia. Sedangkan elang, itu adalah lambang yang tercetak pada bendera bebangsaan Mesir. Ok, pakai nama garuda sekarang. Saya lanjutkan kembali. Jadi, anak ayam dan garuda adalah jenis unggas yang sama – sama memiliki dua kaki dan sayap. Bedanya garuda lebih bisa memanfaatkan sayapnya untuk terbang bereksplorasi ke segala ranah alam keilmuan. Dan itik, anak ayam, tidak seperti itu. Dia hanya bisa memanfaatkan kedua kakinya sehingga hanya bisa berjalan. Aku seperti anak ayam, mereka garuda. Mereka bisa memanfaatkan fungsi otaknya untuk mengeksplorasi ke berbagai bidang ilmu. Dan aku, masih berusaha menuju ke sana. Maka pada sedikit kesempatan itu, aku bilang kepada mereka, “ garudakanlah aku!!!, tolong, garudakanlah aku!!!”.

Lalu pertanyaannya, apakah itik, anak ayam, mampu untuk terbang seperti garuda?? Padahal Tuhan telah menitahkan ayam untuk tidak terbang. Tentu saja menurutku hal itu tidak akan terjadi dan andapun tahu itu. Namun aku tetap optimis bisa mengikuti alur pergerakan pemikiran mereka. Karena aku manusia, bukan itik. Takbir..!!!


Selengkapnya......

Manusia, pelupa??

17 Desember 2009


Ya, memang pelupa. Tapi jika dikaitkan dengan status manusia itu sendiri yang notabenya sebagai sebaik – baiknya makhluk “fi ahsani taqwim”, mungkin saja hal pelupa masih bisa dipertimbangkan kembali. Apakah malaikat punya sifat lupa? Makhluk allah satu ini terkenal tidak punya dosa, tidak pula pahala. Tidak makan, tidak pula minum. Tidak mengeluh, tidak pernah juga berbangga hati. Tidak pernah iri, tidak pernah pula menghasut. Selalu qona’ah dan tidak sekali –kali berkeinginan memilki yang bukan haknya. Sama sekali Tidak suka naik jabatan, apalagi kekuasaan. Malaikat cukup puas dengan jabatan yang mereka pangku saat ini sampai waktu yang hanya penciptanya yang tahu kapan jabatan itu dicopot.


Siapa bisa membayangkan apabila malaikat pembagi rizki lupa, maka berapa banyak hamba – hamba yang menggerutu. ketika keadaan normal aja, kaya mengaku miskin demi hak –haknya terpenuhi dan terhitung masuk penerima BLT. Pedagang yang laris dagangannya mengaku biasa – biasa aja agar tetangga sebelah mengurungkan niatnya untuk sekedar pinjam uang.
Sudahlah, aku bukan mengajak anda untuk memikirkan hal yang berahir batil. Sama sekali tidak!! Karena malaikat adalah makhluk yang mempunyai ‘Ishmah, terjaga. Terjaga dari kelalaian dan segala sifat – sifat jelek. Terjaga dari nafsu – nafsu. Berbeda dengan manusia yang memiliki nafsu, akal dan nurani. Tiga hal ini barangkali yang membuat manusia menjadi khalifah dibumi. Dengan modal tiga hal itu juga kedudukan manusia bisa lebih baik ketimbang malaikat. Dengan 3 hal itu juga manusia bisa lebih rendah dibanding makhluk figuran yang berupa binatang. Benar – benar bukan maksud aku untuk menjelek – jelekkan manusia. aku hanya ingin mengatakan bahwa manusia itu memiliki segala kapasitas dari berbagai dimensi untuk mejadi makhluk Allah yang paling mulia. Karena memang di ciptakan dengan sebaik – baiknya ciptaan.

Berbicara tentang lupa, aku jadi ingat dengan sedikit tertawa geli. Pernah suatu ketika aku pergi keluar rumah untuk membeli sayuran, sabana namanya. Rencana sayuran itu akan aku buat sop karena waktu itu siang hari. Keluarlah aku dari rumah. Setelah berjalan lebih kurang seratus meter, lah, ternyata aku nggak bawa uang satu qirsy pun. Apa apaan ini, berani – beraninya ingin mempermalukan diri sendiri. Hatiku pun sedikit maedu kinerja otak. Hanya hal semacam itu saja, kok nalarnya nggak nyangkut. Hanya untuk mengakali hal sekecil itu pun malah harus ada kata – kata lupa. Namun aku nggak lantas memojokkan otak atas kesalahannya. Karena bagaimanapun otak adalah nikmat allah yang termasuk paling hebat. Otak sebagai hard disk-nya manusia.

Itu contoh kecilnya. Lebih sedikit luas lagi, kita melihat fenomena yang terjadi di dunia kemahasiswaan indonesia. Tidak setiap mahasiswa ingat akan dirinya. Beberapa mahasiswa yang tidak menyadari bahwa dirinya itu adalah orang. Mahasiswa adalah pejuang. Mahasiswa adalah yang berjalah menuju sebuah tempat tujuan. Mahasiswa adalah bersungguh – sungguh. Namun, tidak sedikit yang lupa atas apa yang Ia perjuangkan. Lupa apa yang Ia tuju. Lupa kenapa Ia bersungguh – sungguh. Lebih sedikit kita lebarkan lagi. Tidak setiap manusia indonesia tidak lupa pada tujuan hiadupnya. Tidak setiap manusia tidak lupa akan akar budayanya. Tidak setiap manusia tidak lupa apa tujuan kehidupan bernegara indonesia. Kalau lupa, bagaimana akan bersungguh – sungguh. Bagaimana akan dan bagaimana akan memikirkan kemajuan.

Apesnya lagi, mungkinkah seseorang akan lupa jika Ia nggak pernah tahu bahwa seseorang itu sedang menuju sebuah tujuan?? Bagaimana mau lupa Si Fulan wong sebelunya saja nggak pernah kenal fulan, nggak pernah melihat fulan dan nggak pernah tau akan fulan. Apa yang mau dilupakan?

Toh demikian, lupa mungkin juga sebuah nikmat yang patut semua umat manusia mensyukurinya. Jika manusia tidak memiliki hal tersebut, bagaimana jika seseorang mempunyai kenangan yang mengerikan, mungkin akan selalu trauma jika nggak ada kata lupa. Bagaimana jika seeorang mempunyai kenangan menyedihkan, maka hidupnya selalu dirundung kesedihan. Bagaimana jika dan bagaimana jika yang lainnya.



Selengkapnya......

Ide itu Mahal

02 Desember 2009


Huh, hanya dalam hitungan menit saja otak sudah kelabakan untuk mengingat – ingat apa yang telah di pikirkan. Ya Allah, mungkin karena waktu yang sudah agak tengah malam. Dan tubuh juga mulai loyo. Tapi, nggak apalah sedikit untuk menina bobo-kan sepasang mata sipitku ini, aku mencoba untuk corat coret bagaimana pentingnya sebuah ide. Tadi, aku memang melihat ada sebuah gagasan yang sepertinya menarik, dan melintas di depan kedua mataku. Tentunya menarik bagi saya dan nggak tahu apakah itu menarik buat orang lain. Namun, yang jelas hanya dalam hitungan beberapa menit saja aku sudah kepayahan untuk mengingatnya kembali. Maklumlah, bagiku menulis itu merupakan hal yang baru. Jadi, ya beginilah, untuk hanya mengingat – ingat ide saja seakan sudah mau curhat di sini.


Jurnalis memang hebat. Penulis di media massa memang tangguh. Para penulis karya – karya ilmiah memang pintar dan hebat. Penulis novel memang kreatif. Kang Abik memang pandai bersilat pena. Andrea Hirata memang imajinatif. Yang lebih hebat lagi, Ibu dan Bapak guru bahasa Indonesia di sekolah dasar kita memang superman dan wonderwoman. Atas jasa dan barokah merekalah orang –orang hebat, orang – orang pandai, serta orang – orangan lainnya kini bisa menjadi ‘orang’. Mereka hebat dalam mencari ide. Mereka juga hebat dalam mengemas ide menjadi sebuah santapan yang enak dibaca. Mereka selalu kaya akan stok ide. Barang kali tidak sampe pada titik kepayahan ketika idenya hilang dalam hitungan menit. Mereka hanya cukup menarik nafas sejenak, maka ide – ide berebut datang agar mereka muncul di lembaran – lembaran yang di cari halayak. Mereka (masih para ide – ide itu) selalu punya harapan menjadi terkenal, menjadi sumber inspirasi bagi pemuda pemudi, inspirasi bagi para mahasiswa, pebisnis, para koki, da’i, politisi, ekonom, calon bupati, calon DPRD tk II dan para calon –calon pemilik kursi panas lainnya. Kalau boleh memilih, aku lebih ingin menjadi kutu pemilik ide –ide itu dibanding menjadi kutu buku yang memuat ide – ide itu. Itu obsesiku. Karena aku dapat ikut selalu pergi ke mana saja. Menimba pengalaman – pengalaman sohib-nya ide. Dan bisa langsung merasakan getaran – getaran ide- ide yang berjibaku di dalam otak. Namanya saja kutu, seberapa dekat dengan otak???

Ide itu sangat mahal. Dan gagasan bukan hal yang murah. Karena kedua hal tersebut sama – sama menjadi dasar ilmu apapun, juga sebagai dasar segala bentuk konsep. Semua orang pasti punya gagasan dalam situsi tertentu atau umum. Dan hal itu tidak bisa , tidak. Karena merupakan hal yang pasti. Sampai orang yang hilang akal pun setidaknya punya inisiatif untuk mengisi perutnya sendiri. Alhamdulillah aku termasuk diantara orang –orang yang diberi anugrah sebagaimana manusia pada umumnya. Aku sama dengan Kang Abik, sama dengan Cak Nun, sama dengan Cak Imin, dan masih sama juga dengan cak – cak, cut – cut, para raden, para tuangku sampai para kiyai sebagai anggota tetap penerima rahmatan lil’alamin. Bedanya, mereka bukan orang yang gampang gugup. Mereka bukan orang yang demam panggung. Kalau aku,” pangapura baelah”....hanya untuk menuliskan gagasan atau ide di atas kertas putih, dalam keadaan sendiri tanpa ada satu pun yang melihat saja aku bingung. Bukannya tanpa ide, tapi memang aku lupa. Dan untuk mengingatnya pun memang tidak mudah bagiku.
اللهم ارحمنا بالقرأن واجعله لنا اماما ونورا وهدى ورحمة اللهم ذكرنا منه ما نسينا وعلّمنا منه ما جهلنا.


Selengkapnya......

Imam Malik bin Anas

29 April 2009

Imam Malik mempunyai nama lengkap Malik bin Anas bin Amir al Ashbahi. Lahir di Madinah pada tahun 93 H. Dari kedua orang tua arab, maka dinisbatkan kepada bapaknya yang berasal dari qabilah Dzi Ashbah, salah satu qabilah yang ada di Yaman. Dan ibunya adalah al ‘Aliyah binti Syarik al Asadiyah, yaitu berasal dari qabilah Asad. Kakeknya Abu ‘Amir adalah seorang sohabi yang beberapa kali mengikuti perang bersama Nabi SAW kecuali perang Badar. Sebagaimana kakeknya yang paling muda adalah seorang pembesar Tabi’in, dia adalah salah satu dari empat orang yang memikul jasad sahabat Utsman ke makamnya pada malam hari.

Imam Malik bin Anas menghabiskan waktu hidupnya hanya di kota Madinah, dan tidak diketahui kepergian beliau dari kota Madinah kecuali pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sehingga meninggal di sana pada tahun 179 H.


Imam Malik bin Anas telah hafal Al qur’an semenjak kecil, kemudian mulai untuk menggali ilmu dari para ulama Madinah seperti mengikuti majlis Robi’atur Ro’yi. Dan setelah selesai dalam majlis ini, imam Malik berpindah kepada Abdur Rahman bin Harmaz.

Imam Malik sangat kagum kepada Abdul Rahman bin Harmaz yang mana beliau adalah salah satu tabi’in ahli ushul, fiqih dan hadits. Abdul Rahman bin Harmaz meriwayatkan dari Abu Huroiroh, Abu Sa’id al Hudhri, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Imam Malik adalah seorang yang sangat pandai dalam segala ilmu, dan sangat bersemangat dalam mencarinya. Sehingga beliau tidak menyisakan tenaga dan harta demi mencari ilmu. Imam Malik sangat gigih sehingga dalam salah satu riwayat beliau pernah menjual atap rumahnya demi kelanjutannya dalam mencari ilmu. Imam Malik juga mempunyai beberapa masyayikh, yang mana beliau selalu pergi ke tempat mereka untuk mencari ilmu walaupun keadaan cuaca sangat panas ataupun sangat dingin.

Imam Malik memulai belajar dengan periwayatan hadits, ilmu fatawa shohabah, kemudian membuat dasar-dasar fiqih dalam madzhabnya, dan tidak cukup sampai itu saja, beliau bahkan mempelajari semua disiplin ilmu syari’ah. Maka imam Malik tidak hanya sebagai ulama’ hadits saja, namun juga sebagai salah satu imam madzhab fiqih. Maka banyak ulama’-ulama’ besar yang datang kepadanya untuk menimba ilmu. Sehingga madzhab Imam Malik tersebar ke penjuru dunia. Dan pada musim haji, banyak orang yang berbondong-bondong untuk bertemu kepada Imam Malik, sehingga mereka pun rela bergelut dengan suasana yang sangat penuh.

Guru-guru imam Malik bin Anas

Imam Mailk bin Anas berguru dalam ilmu fiqih dan sunnahnya kepada beberapa ulama’ besar saat itu. Diantaranya, Abdul Rahman bin Harmaz, Muhammad bin Muslim bin Syihab az Zuhri, Abu al Zaman ‘Abdullah bin Zakwan, Robi’ah bin ‘Abdul Rahman yang dinamakan juga sebagai Robi’at ar Ro’yi.

Dan perlu diketahui bahwa mereka (masyayikh Imam Malik), sangat menguasai berbagai ilmu, dari fiqih, ijtihad, hadits dan atsar para sahabat. Dan Imam Malik bin Anas telah menguasai semua ilmu dari mereka, sehingga Imam Malik bin Anas disebut sebagai muhaddis, dan disebut juga sebagai faqih.

Kitab Muwato’

Kitab ini terhitung sebagai kitab yang pertama kali disusun. Dimana kitab ini mencakup riwayat-riwayat dari sunnah. Hal ini karena para ulama’ saat itu kebanyakan hanya menyimpan riwayat haditsnya di dalam ingatan mereka. Dan banyak dari mereka yang tidak pandai dalam menulis dan menyusun kitab.

Imam Malik bin Anas mulai menyusun kitabnya pada masa kholifah Abasiyyah, Abi Mansur dan beberapa pemimpin al Mahdi. Sedangkan kholifah Rosyid berusaha menjadikan Muwato’ sebagai panduan peraturan dalam negara islam. Sehingga dalam menghakimi berbagai masalah, akan merujuk pada kitab ini. Selain itu, kholifah juga menginginkan kitab ini di pajang pada dinding ka’bah agar seluruh umat islam mengetahui kitab muwato’ ini. Akan tetapi Imam Malik menolak tawaran tersebut.

Kitan Muwato’ telah mencakup ilmu fiqih. Maka muwato’ merupakan kitab hadits dan juga kitab fiqih. Banyak ulama’ yang meriwayatkan kitab ini, diantaranya riwayat Yahya bin Yahya al Laitsi al Andalusi, riwayat Muhammad bin al Hasan as Syibani dan lain sebagainya.

Murid-murid Imam Malik

1. Ibnu Qosim (128-197 H.)
2. Ibnu Wahhab (125-197 H.)
3. Asyhab (145-204 H.)


Selengkapnya......

Jangan Ceroboh Kawan.....!!!!

28 April 2009


Ini diangkat dari pengalaman pribadi Yang telah terjadi dan membekas hingga sekarang. Ok, kejadian itu memang tidak sepenuhnya aku ingat lantaran aku masih seumur anak jagung, namun bekas luka yang ada di bibir bagian bawah ini, membuatku bertanya-tanya kepada saudara-saudaraku. Kebetulan pamanku yang merupakan saksi hidupku, menceritakan betapa cerobohnya aku, waktu itu.

Lek Usop adalah panggilan akrab pamanku. Entah pagi atau siang, waktu itu aku bersama pamanku, lek Usop, pergi entah untuk apa tujuannya. Barang kali jalan-jalan, karena hobiku waktu kecil adalah jalan-jalan dengan dandanan yang “mlipit”. Aku memakai celana pendek “katok kolor” (bahasa jawa) dengan baju yang aku lupa, artinya, baju apa yang aku pakai.

Ok, ketika mulai beranjak dari rumah, aku memasukkan tanganku ke dalam celana bagian depan (nggak ngapa-ngapain lho...coz, masih kecil :D). Aku berjalan dengan posisi sedemikian rupa tanpa digandeng pamanku. Baru saja beberapa langkah dari rumah, tepatnya di samping rumah tetangga sebelah. Kebetulan di samping rumah tetanggaku itu, terdapat sebuah emperan. Atau bisa kita sebut dengan koridor kecil yang terbuat dari cor-coran pasir dan semen. Dengan tegap aku berjalan menapaki emperan tersebut. Tidak lama kemudian, tiba-tiba aku terjatuh dengan posisi tangan berada di dalam celana. Praktis aku terjatuh seperti pohon roboh karena tanganku tidak bisa menyangga ketika jatuh. Dan sialnya, mulutku menghantam pojokan cor-coran koridor itu. Peenkk.....!!!! kelihatannya rasanya seperti itu (karena aku juga sudah lupa rasanya gimana:D). Pamanku langsung mengangkatku dari tempatku jatuh.

Aku menangis sekuat tenaga setelah terjatuh. Ketika dibopong pamanku, aku tidak mau berhenti menangis dengan sekuat tenaga. Hingga sampai di depan rumah, aku pun tetap menangis keras, dan berteriak. Semua orang yang ada di dalam rumah pun keluar. Dan tetangga sekitar pun ikut melihatku menangis. Dengan cepat Ibuku langsung memelukku dan memeriksa lukaku.

Alhasil, beberapa gigiku terpaksa tumbang atas dan bawah, dan bibir sebelah bawah robek. ketika itu, aku seperti baru memakan ayam yang masih hidup, sehingga mulutku bersimbah darah. Atau seperti drakula yang baru menerkam mangsanya, dengan dua taring sebelah kiri dan kanan (yang tengah ompong).

Aku terlihat menyesal atas kecerobohan yang telah dilakukan. Ompong salah satu akibatnya, dan sehari kemudian Pak Mantri (dokter) datang dan memeriksaku. Sehingga hari itu juga, bibirku dijahid agar bisa kembali normal. Namun rencana itu rupanya kurang berhasil, karena ternyata luka yang di bibir bawah itu justru sebagai lalu lintas air liur yang keluar dari sarangnya. Sehingga proses penyembuhan agak lebih lama dari prediksi.

Namun bagaimanapun hasilnya, aku tetap bersyukur dan berterimakasih kepada Allah SWT yang masih memberi keselamatan hingga sekarang. Dan kepada Ibu dan pamanku yang telah merawatku dengan kasih sayang yang tak terhingga.

Dengan pengalaman yang aku tuliskan dalam cerita ini, semoga sedikit bisa mengingatkan kita semua untuk tidak berbuat ceroboh dalam hal apapun. Dan menjadikan kita lebih hati-hati dalam melakukan sesuatu. Jangan sampai sebuah kelalaian sedikit, dapat membuat kita menyesal seumur hidup. Thank’s......

Selengkapnya......

Pengantar Ilmu Ushul Fikih

10 April 2009

Kalam (baca: Khitâb) Allah SWT pada hakikatnya bukan hanya al-Qur`an dan Sunnah saja, namun juga meliputi Ijmâ’ dan Qiyâs. Sangat jelas bahwa al-Qur`an adalah kalam Allah, baik lafadz maupun maknanya. Dan, Sunnah termasuk wahyu Allah secara makna, sedangkan lafadznya berasal dari Nabi Muhammad SAW. Maka, al-Qur`an disebut sebagai wahyu al-Matlu dan Sunnah sebagai wahyu Ghoiru Matlu.

Adapun terkait Ijmâ’, Nabi Muhammad SAW berkata : ”umatku tidak akan bersepakat dalam kesalahan”. Hadits ini merupakan dalil Ijmâ’. Dan Qiyâs merupakan sumber hukum Islam yang dihasilkan dari sebuah proses ijtihad. Pada dasarnya, Ijmâ’ dan Qiyâs sama-sama dihasilkan melalui proses ijtihad. Bedanya, jika Ijmâ’ merupakan kesepakatan para mujtahidîn (bersifat kelompok), maka Qiyâs bisa dilakukan oleh seorang mujtahid (bersifat personal).

Lalu ada sebuah pertanyaan,”mengapa Qiyâs termasuk khitâb Allah, padahal ia dihasilkan dari ijtihad yang memungkinkan terjadinya kesalahan?”


Memang, Qiyâs dihasilkan dari sebuah ijtihâd (sebuah proses usaha dalam menghasilkan hukum tertentu). Jika ijtihâd itu benar, maka secara dzohir ia termasuk hukum Allah. Dan jika ijtihâd itu salah, maka tidak dianggap sebagai hukum Allah SWT. Karena, Allah SWT terbebas dari pada kesalahan.

Dengan ini, jelas sangat dibutuhkan sebuah kemampuan yang baik dalam melakukan sebuah ijtihâd, ber-istinbât (menggali) hukum dari sumber-sumbernya. Karena jika kemampuan tersebut tidak dimiliki dalam diri sebagian manusia, akan berakibat terjadi banyak permasalahan yang muncul tentang keagamaan, karena ijtihad adalah titik penghubung antara khithab Allah dan umat-Nya.

Ilmu yang mempelajari bagaimana metode serta cara mengambil hukum dari sumbernya, bagaimana menjadi seorang mujtahid yang memiliki kababilitas yang baik, dan bagaimana menggali sebuah hukum sebagai solusi qhodhiyah mu’ashiroh yang muncul? Semua itu terangkum dalam disiplin ilmu yang disebut dengan Ushul Fiqih. Dalam kesempatan ini penulis akan mencoba memaparkan mabadi’ ilmu ushul fiqih, yang selengkapnya sebagai berikut!

Pengertian Ilmu Ushul Fiqih

Pengertian ushul fiqih dapat dibagi menjadi dua. Ushul fiqih secara susunan idhofi, dan ushul fiqih sebagai ‘alam yaitu ilmu yang berdiri sebagai disiplin ilmu tersendiri atau laqoby.

Ushul fiqih secara susunan idhofi

Dikatakan sebagai susunan idhofi, karena ushul dan fiqih jika dipisahkan memiliki arti masing-masing. Maka penulis mencoba menguraikan arti ushul dan arti fiqih.

a. Ushul merupakan jama’ dari kata al Ashlu, yang secara bahasa berarti :
ما يِِِبتنى عليه غيره

Sedangkan secara istilah al Ashlu memiliki beberapa arti, diantaranya :
الصورة المقيس عليها
Suatu asal hukum yang terdapat dalam Al-Qur`an. Contoh : khomr

الرجحان
Sesuatu yang dibenarkan. Contoh : al ashlu fi al kalam al haqiqoh.
القاعدة المستمرّة
Sebuah qaidah yang terus menerus (tetap). Contoh : ibahatul maitah lil mudhthorri ‘ala khilafi adz dzohir.
الشيء المستصحب
Yaitu tetapnya sebuah hukum seperti yang telah ada. Contoh : al ashlu baqa’u ma kana ‘ala ma kana.
الدليل
Yaitu sebagai dalil landasan suatu hukum (sumber hukum). Contoh : Al-Qur`an, Sunnah.

b. Al fiqhu, secara bahasa berarti al ilmu dan al fahmu . Sedangkan secara istilah :
العلم بالاحكام الشرعيّة العمليّة المكتسب من أدلّتها التفصيليّة
Keterangan sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya.

Ushul fiqih sebagai salah satu disiplin ilmu yang tersendiri. Atau yang sering disebut dengan makna Laqobi.

Ada beberapa pengertian tentang ushul fiqih sebagai salah satu disiplin ilmu. Diantaranya :
Al Imam ar Rozy :
مجموع طرق الفقه على سبيل الاجمال وكيفية الاستدلال بها وكيفية حال المستدل بها.
Imam al Baidhowi :
معرفة دلالة الفقه اجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفد
Ibnu Hajib :
العلم بالقواعد التى يتوصل بها الى استنباط الاحكام الشرعيّة الفرعيّة من أدلّتها التفصيليّة.

Objek Pembahasan Ushul Fiqih

Menurut para ahli manthiq, bahwa objek setiap ilmu adalah segala hal yang dibahas di dalamnya. Hal disini terdiri dari sesuatu yang fitrah untuk menjadi pembahasan, bagian dan lain sebagainya. Maka objek pembahasan ushul fiqih sesuai dengan pendapat para ulama’, hanya berkisar antara ad Dalil al Kulli dan al Hukmu al kulli.

Ad dalil al kulli adalah bentuk-bentuk umum dari pada dalil-dalil yang terdiri dibawahnya berbagai dalil juz’i seperti al ‘amru, an nahyu, al ‘am, al muthlaq, al Ijma’ as shorikh dan al Ijma’ sukuti. Sedangkan al hukmu al kulli adalah bentuk-bentuk hukum yang bersifat umum dimana terdiri dibawahnya beberapa hukum juz’i. Seperti ijab, tahrim, mandub, shihhah, buthlan dan lain sebagainya.

Selain itu, dalam muqoddimah kitab Nihayatussul karangan Al Isnawi, diterangkan tentang pembahasan dalam ilmu ushul fiqih meliputi tiga hal yang sesuai dengan devinisi dari Imam al Baidhowi, yaitu :

Mengetahui dalil-dalil syar’i secara global, tatacara pengambilan hukum dari dalil-dalil tersebut, dan mengetahui sifat serta syarat-syarat seorang mujtahid.

Catatan : pada dasarnya objek pembahasan ushul fiqih kesemuanya itu, tidak memiliki perbedaan yang mendasar. Sedangkan objek pembahasan ilmu fiqih adalah fi’lul mukallaf.

Al Ghoyah al Maqshudah/ Tujuan dari pada Ushul Fiqih

Tujuan adanya ilmu ushul fiqih sesuai kesepakatan para ulama’ adalah penerapan qaidah dan teori-teori atas dalil-dalil yang detail(tafshil) agar sampai kepada hukum-hukum yang menunjukkannya.

Catatan : sedangkan tujuan dari ilmu fiqih adalah penerapan hukum-hukum syar’i terhadap perbuatan manusia.

Istimdad Ilmu Ushul Fiqih

Para ulama’ ushul menyebutkan bahwa istimdad ilmu ushul fiqih ada tiga hal. Diantaranya, ilmu kalam, ilmu bahasa arab dan ahkam syar’iyyah.

Ilmu kalam
Hubungannya yaitu sebelum kita lebih jauh mempelajari ilmu ushul fiqih ataupun ilmu yang lain, maka kita hendaklah memiliki aqidah yang lurus, mengimani Allah SWT beserta sifat-sifatnya. Dan meyakini kebenaran rosul-Nya sebagai penyampai risalah Ilahiyyah.

Bahasa Arab
Hubungannya bahwa bahasa arab adalah bahasa Al-Qur`an yang merupakan sumber hukum nomer satu. Dan semua hal pembahasan ilmu ushul fiqih pada dasarnya diambil dari Al-Qur`an. Maka, bahasa arab ini sangat penting kedudukanya dalam mempelajari ilmu ushul fiqih.

Al Ahkam as Syar’iyyah
Keterkaitan antara ushul fiqih dengan ahkam syar’iyyah yaitu sebelum kita mengetahui maudhu’ ilmu ushul fiqih, hendaknya kita memiliki tashowwur atau gambaran mengenai bagaimana hukum syar’i dan pembagiannya.

Hukum Mempelajari Ilmu Ushul Fiqih

Meminjam kata-kata dari makalah KAJIAN REGULER MISYKATI yang ditulis oleh ust. Munafidzu Ahkamirrohman, Lc. Yang sesuai dalam buku Al Hukm al Syar’i ‘inda al Ushuliyyin, karangan Dr. Ali Jum’ah. Bahwa hukum mempelajari ilmu ushul fiqih adalah wajib kifayah.

Kemunculan dan Perkembangan Ilmu Ushul Fiqih

Ushul fiqih ada semenjak adanya fiqih. Maka kapan pun fiqih itu muncul, ushul fiqih pun disana ada. Karena ushul fiqih adalah rangkuman qaidah dan kriteria sebagai patokan fiqih. Hal tersebut adalah termasuk komponen utama dalam ushul. Akan tetapi fiqih lebih dahulu dibukukan dari pada ushul fiqih, walaupun keberadaannya bersamaan dengan fiqih. Dalam artian, fiqih telah dibukukan, permasalahan, qaidah dan bab-bab fiqih telah ada sebelum dibukukannya ilmu ushul fiqih.

Hal ini bukan berarti ilmu ushul fiqih baru muncul setelah dibukukannya ilmu ini. Atau bahwa para ulama’ belum mempunyai sebuah qaidah, kriteria ushul dalam menentukan hukum fiqih. Namun yang terjadi adalah bahwa para ulama’ mulai dari sahabat Nabi SAW telah memiliki kemampuan pengambilan hukum sesuai dengan kriteria ini. Mereka waktu itu sama sekali tidak membutuhkan kriteria ini. Dengan kebersamaan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, menjadikan mereka memiliki kemampuan yang luar biasa dalam masalah pengambilan hukum.
Sebagaimana biasanya bahwa sesuatu yang ada maka dibukukan. Dan pembukuan adalah sebagai bukti adanya sesuatu itu, bukan tanda awal munculnya sesuatu. Sebagi contoh, dalam ilmu bahasa.

Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW adalah penyampai wahyu dari Allah SWT kepada hamba-Nya. Maka pada masa ini belum membutuhkan ushul fiqih. Karena Nabi Muhammad SAW sebagai marja’ bagi para sahabat ketika mendapati sebuah permasalahan. Maka waktu itu tidak ada ijtihad. Jika tidak ada ijtihad, maka tidaklah membutuhkan istimbat hukum dan qaidah.

Masa Sahabat
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW terjadilah berbagai persoalan keagamaan, yang memaksa para sahabat untuk melakukan pengambilan hukum dari sumbernya atau yang kita sebut dengan ijtihad. Namun para sahabat belum membutuhkan sebuah kriteria ijtihad, dan tatacara beristimbat. Karena para sahabat memiliki kemampuan yang sangat baik dalam pengambilan hukum dari sumbernya. Hal ini terjadi karena beberapa faktor. Diantaranya, kebersamaan para sahabat dengan Nabi Muhammad SAW sehingga mereka kebanyakan mengetahui Asbabu an Nuzul, wurudu al Hadits, ‘illatu at Tasyri’ dan hikmahnya. Sehingga mereka memiliki kemampuan yang tinggi dalam hal keagamaan.

Masa Tabi’in
Pada masa ini keadaan masih sama dengan sebelumnya, masa sahabat. Karena tabi’in adalah orang yang langsung bertemu dengan sahabat. Maka mereka mendapatkan bekal ilmu agama langsung dari para sahabat. Selain kemurnian dan kesungguhan para tabi’in, mereka juga mendapat lisensi dari Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa sebaik-baiknya masa adalah masaku(termasuk sahabat), kemudian masa setelahnya(tabi’in) dan kemudian masa setelahnya(tabi’i tabi’in). Sehingga mereka, para tabi’in, juga memiliki kemampuan tinggi dalam pengambilan sebuah hukum dari sumbernya sebagaimana para sahabat. Maka belum ada kebutuhan untuk membukukan ushul fiqih.

Masa Tabi’i Tabi’in
Setelah habisnya masa tabi’in, ekspansi Islam sangat meluas. Dan lebih banyak terjadi masalah-masalah yang baru dengan bercampurnya bangsa selain arab ke dalam Islam. Maka banyak sekali ijtihad dari para mujtahid, munculnya berbagai cara dalam beristimbat hukum dan meluasnya munaqosah dan perdebatan yang digawangi oleh Madrosatu ar Ro’yi dan Madrosatu al Hadits. Yang menjadikan kesalahpahaman hingga menyalahkan satu dan lainnya mengenai perdebatan ini. Maka pada masa ini sangat dibutuhkan adanya pembukuan sebuah qaidah dan kriteria serta tatacara beristimbat atau yang kita sebut dengan ilmu ushul fiqih.

Diakatakan bahwa yang pertama kali menyusun ushul fiqih dalah Abu Yusuf Shohibu Abi Hanifah. Akan tetapi karangan beliau tidak sampai kepada umat sesuadahnya.

Dan yang paling diakui bahwa penyusun ilmu ushul fiqih pertama kali adalah Muhammad bin Idris as Syafi’i, dengan karyanya Ar Risalah. Wafat pada 204 H.

Kitab Ar Risalah ini berisikan tentang Al-Qur`an dan penjelasannya terhadap hukum-hukum, penjelasan Sunnah terhadap Al-Qur`an, Ijma’, Qiyas, nasikh dan masukh, al ‘amr, an nahyu berhujjah dengan Khabar wahid dan sebagainya dari pembahasan-pembahasan ushuliyyah.

Sebagaimana setiap sesuatu yang ada, berjalan dari masa kecilnya dan berkembang. Maka berawal dari Ar Risalah, berkembang setelahnya beberapa kitab ushul fiqih yang mensyarahi ar Risalah dari abad ke tiga hingga ke empat. Akan tetapi karangan-karangan tersebut tidak sampai kepada kita.

Corak dan Metode Ulama’ dalam Menyusun Ilmu Ushul Fiqih

Dalam menyusun sebuah metode ushul fiqih, para ulama’ pun tidak dalam metode yang sama. Setidaknya ada dua metode yang muncul pada masa pambukuan ilmu ini, dan muncul metode lain(muta’akhirin). Dua metoe awal ini adalah metode Mutakallimin dan Hanafiyyah.

1. MetodeUlama’ Mutakallimin (as Syafi’iyyah)
Kelompok ini terdiri dari ulama’ syafi’iyyah dan ulama’ malikiyyah. Yaitu memisahkan qaidah-qaidah ushuliyyah secara tersendiri, tanpa mempertimbangkan furu’ antara suatu madzhab dan yang lainnya. Kelompok ini lebih condong kepada pengambilan dalil ‘aqli.

Toriqoh Mutakallimin juga ditandai dengan pengokohan sebuah qaidah yang berdasarkan dalil mantiqi, tanpa adanya ta’asshub terhadap madzhab tertentu. Sebagaimana yang sering dibiasakan oleh Mu’tazilah, mereka selalu menggunakan dalil ‘aqli. Dengan ini, maka qaidah ini berlaku sebagai qaidah yang menghakimi furu’-furu’ yang ada di bawahnya dan tidak tunduk terhadap furu’-furu’. Maka dalam kitab-kitab yang mengikuti thoriqoh ini tidak memperbanyak furu’-furu’. Kalaupun ada biasanya hanya sebatas contoh untuk mempermudah pembaca dalam memahami qaidah.

Kitab-kitab Penting yang Dikarang Menurut Metode Mutakallimin

a. Al ‘Ahdu atau Al ‘Amdu yang dikarang oleh Al Qodhi Abdul Jabbar bin Ahmad al Hamdzani al Mu’tazili. Wafat 451 H.

b. Al Mu’tamad karya Abu Husain al Bashri. Wafat 436 H. kitab ini adalah Syarh dari kitab karya al Qodhi Abdul Jabbar.

c. Al Burhan karya Imam Haromain; Abdul Malik bin Yusuf al Juwaini. Wafat 478 H.

d. Al Mushtashfa karya Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghozali. Wafat 505 H. al Ghozali adalah murid Imam Haromain.

Kitab-kitab diatas adalah kitab pokok yang dihasilkan melalui metode mutakallimin. Kemudian keempat kitab diatas diringkas oleh dua imam besar, mereka adalah :

a. Fakhruddin Muhammad bin Umar bin al Husain ar Rozi. Wafat 606 H. Dengan karyanya kitab Al Mahshul.

b. Saifuddin ‘Ali bin Abi ‘Ali bin Muhammad al ‘Amidy. Wafat 631 H. beliau meringkas dari keempat kitab di atas dan dinamakan kitab Al Ihkam fi Ushul al Ahkam.

Dengan adanya kedua ulama’ ini, maka para ulama’ setelahnya mulai meringkas kembali, dan mensyarahi kedua kitab ini.

Imam Usman bin ‘Umar bin al Hajib, wafat 646 H. Meringkas kitab al Ihkam , dan kitabnya diberi nama Al Mukhtashor al Kabir kemudian kitab ini diringkas kembali oleh beliau dan dinamai kitab Mukhtashor al Muntaha. Dari kitab ini pula, banyak ulama’ setelahnya yang mensyrahi hingga hasyiahnya.

Sedangkan kitab al Mahshul diringkas lebih dari satu, hingga Imam ar Rozi sendiri dan di beri nama al Muntakhob. Sebagaimana al Qodhi Tajuddin Muhammad bin Husain al Armawi. Wafat 656 H. dan diberi nama Al Hashil. Melihat betapa pentingnya kitab ini, dengan ‘ibarah-‘ibarah yang tajam, maka para ulama’ juga banyak yang mensyarah kitab ini, seperti dua ulama’ besar waktu itu :

a. Al Qodhi Abu Abdillah al Qufthi. Wafat 736 H. dan menamai kitabnya Tuhfatu al Washil fi Syarh al Hashil.

b. Al Qodhi Abdullah bin Umar al Baidhowi. Wafat 685 H. dan menamakan kitabnya dengan Minhaj al Wushul ila ‘Ilm al Ushul. Kitab ini juga menjadi perhatian banyak ulama’ dan mulai mensyarahnya hingga lebih dari 40 syarh kitab. Dan yang paling penting dan masyhur diantara syarh kitab Minhaj adalah syarh Imam Isnawi yang dinamakan Nihayat as Sul Syarh Minhaj al Wushul. Wafat 772 H.

2. Metode Ulama’ Hanafiyyah
Para ulama’ Hanafiyyah berbeda dengan ulama’ Mutakallimin. Metode yang mereka terapkan adalah menetapkan qaidah sesuai yang ditunjukkan oleh furu’-furu’. Dinama furu’-furu’ tersebut telah ditinggalkan oleh para imam thoriqoh ini. Mereka akan merubah qaidah jika qaidah tersebut bertentangan dengan furu’yang ditetapkan imamnya.

Walaupun mereka meletakkan qaidah ushuliyah yang terbangun dari pada furu’-furu’ yang ada, namun jika ada perbedaan antara qaidah dan furu’, maka qaidahlah yang akan ditinjau ulang. Dalam kitab-kitab yang dikarang melalui metode ini sangat banyak menyebutkan furu’-furu ataupun masalah far’iyyah. Hal ini lebih ditengarai oleh para Imam-imam Hanafiyyah yang tidak meninggalkan kitab ushul sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Syafi’i.

Kitab-kitab yang Dikarang Melalui Metode Hanafiyyah
a. Ushul Abi Zaid ad Dabusi. Wafat 430 H.
b. Ushul Abi Bakr Ahmad bin ‘Ali. Yang terkenal dengan Al Jashosh. Wafat 370 H.
c. Ushul Syamsul ‘A’immah al Sarkhosi. Wafat 428 H.
d. Ushul Fakhrul Islam al Bazdawi. Wafat 482 H. kitan ini merupakan kitab yang terbaik sebagai kitab mutaqoddimin.
e. Ushul al Kurkhi, karya Abu al Hasan al Kurkhi. Wafat 430 H.

3. Metode Muta’akhirin
Dengan berjalannya zaman dan berkembangnya keilmuan dalam ushul fiqih, maka ada sekelompok ulama’ yang berusaha menggabungkan kedua metode di atas.

Diantara Kitab-kitab yang Dikarang Melalui Metode Muta’akhirin

a. Badi’u an Nidzom, karya Mudzoffaruddin Ahmad bin Ali as Sa’ati al Baghdadi al Hanafi. Wafat 694 H. di dalamnya terdapat penggabungan antara ushul Bazdawi dan kitab al Ihkam.

b. Tanqih al Ushul karya Ubaidillah bin Mas’ud al Bukhori al Hanafi. Wafat 747 H. di dalamnya terdapat penggabungan antara ushul Bazdawi dan al Mahshul.

c. Jam’u al Jawami’ karya Tajuddin Abdul Wahab bin ali as Subki as Syafi’i. Wafat 771 H.
d. At Tahrir karya Al Kamal bin al Hilal al Hanafi. Wafat 861 H.
Ilmu ushul fiqih terus berkembang dengan adanya kitab-kitab karangan para ulama’ dari ulama’ mutaqoddimin hingga ulama’ muta’akhirin. Kenudian muncul juga kitab Al Muwafaqot karya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa as Syathiby. Wafat 780 H. karya-karya ulama’ ushuliyyin belum habis sampai disini.

Ada beberapa kitab ushul yang merupakan kitab untuk mempermudah para mahasiswa yang belajar di Universitas Al Azhar dan majlis ilmu lainnya, seperti :
a. Irsyadu al Fuhul karya Muhammad bin Ali bin Muhammad al Syaukani. Wafat 1255 H.
b. Ushul al Fiqh karya Muhammad Khudhori Bek. Wafat 1345 H.
c. Ilmu al Ushul karya Abdul Wahab Kholaf.
d. Ushul al Fiqh karya Muhammad Abu Zahroh. Wafat 1974 M.

Demikianlah uraian pengantar ilmu ushul fiqih secara singakat. Dan ini hanyalah sebuah usaha pemindahan materi dari sumber-sumber dan buku ushul fiqih. Semoga Allah memberi manfaat kepada kita semua, amin.




Selengkapnya......

Imam Abu Hanifah

01 April 2009

Madzhab hanafi adalah madzhab yang paling awal munculnya dibanding tiga madzhab besar lainnya. Madzhab Hanafi dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah an Nu’man bin Tsabit bin Zutha. Imam Abu Hanifah dilahirkan di Kufah tahun 80 H. dan wafat di Baghdad pada tahun 150 H.

Imam Abu Hanifah termasuk sebagai tabi’in, karena beliau sempat bertemu dengan sahabat Anas bin Malik, Abdullah bin Abi Aufa, Sahal bin Sa’ad as Sa’idi dan Abu Thufail ‘Amir bin Wa’ilah. Dan Imam Abu Hanifah juga meriwayatkan beberapa hadits dari mereka. Sebagaimana bapak beliau, Tsabit, yang bertemu dengan Khalifah Ali bin Abi Tholib r.a. yang kemudian mendo’akan agar mendapat barakah dalam keluarganya.


Imam Abu Hanifah hidup dalam keluarga pedagang di Kufah. Yaitu pedagang kain Khozz (salah satu jenis sutera). keluarga Imam Abu Hanifah juga telah menyerukan agama islam setelah bapaknya (Tsabit) bertemu dengan Imam Ali r.a.

Pada mulanya Imam Abu Hanifah berkonsentrasi untuk menghafal al qur’an seperti yang dilakukan para memeluk agama islam masa itu. Setelah selesai menghafal al qur’an, kemudian beliau mempelajari sunnah dan juga mempelajari ilmu nahwu, adab, sya’ir dan mendiskusikan kelompok-kelompok yang berbeda dalam masalah i’tiqodiyyah. Imam Abu Hanifah juga pergi ke Bashroh untuk melakukan diskusi ini. Dan terkadang menetap di sana demi melakukan diskusi dalam waktu yang lama. Lalu setelah itu, Imam Abu Hanifah mulai mempelajari ilmu fiqih.

Sesuai keterangan di atas, bahwa Imam Abu Hanifah mulai dari kecil telah melakukan kegiatan perdagangan hasil waris dari keluarganya. Maka beliau meneruskan keterampilan keluarganya itu sebagai sumber penghidupan. Sehigga kebanyakan beliau menghabiskan waktunya dalam kegiatan mua’amalah. Dengan ini maka beliau mendapat banyak pengalaman dan pengetahuan dalam masalah mu’amalah.

Kedekatan Imam Abu Hanifah kepada Ulama’

Imam Abu Hanifah merupakan sosok seorang yang sangat cerdas, cekatan, memiliki kecerdasan manthiq yang bagus sehingga para ulama waktu itu sangat menghargainya dan menganjurkan berguru kepadanya. Dalam salah satu riwayat dari Imam, beliau berkata: “ suatu hari aku berjalan melintasi depan as Sya’bi, Dia duduk lalu memanggil dan berkata kepadaku :”mau pergi kepada siapa?” Aku menjawab :” saya mau pergi ke pasar”. Dia berkata :”maksud saya bukan pergi ke pasar, melainkan mau pergi kepada ulama’ “. Maka saya berkata :” saya sedikit sekali berbaur dengan para ulama’”. Dia berkata kepadaku lagi:” jangan lupa bahwa kewajibanmu adalah belajar ilmu dan mendatangi majlis para ulama’. Sesungguhnya aku melihat semangat kewaspadaan dan keterampilan ada dalam dirimu”.Imam Abu Hanifah berkata:” perkatannya telah masuk di dalam hatiku. Maka aku menangguhkan pergi ke pasar dan berpaling kepada ilmu. Maka Allah SWT memberikan manfaat kepadaku melalui perkataan itu”.

Imam Abu Hanifah benar-benar cerdas dan pandai dalam ilmu kalam dan berkecimpung dalam ilmu ini. Sehingga beliau memiliki pendapat-pendapat yang dirangkum dalam berbagai kitab mengenai ilmu ini. Namun setelah itu, beliau kembali berpikir dan meninggalkan dunia ilmu kalam untuk berpaling ke dalam ilmu fiqih. Hal ini karena beliau mengikuti para Sahabat radhiyallohu ‘anhum, yang mana mereka berkecimpung dalam masalah fiqih dan tidak masuk pada dunia ilmu kalam. Padalah para sahabat mempunyai kapasitas keilmuan yang sangat tinggi dan tahu hakikat dari semua perkara. Dan karena ilmu fiqih merupakan ilmu yang mencakup permasalahan dunia dan akhirat.

Imam Abu Hanifah juga berusaha keras dalam mendalami ilmu fiqih khususnya pada empat macam fiqih yaitu : fiqihnya ‘Umar bin Khottob yang terangkum dalam kemashlahatan, fiqihnya Ali bin Abi Tholib yang terangkum dalam masalah istimbath dan hakikat dari syari’ah, ilmu Abdullah bin Mas’ud yang terangkum dalam Takhrij, dan ilmu Abdullah bin Abbas yaitu ilmu al qur’an dan pemahamannya.

Abu Ja’far yang telah sampai pada tingkatan ulama’ besar pun bertanya kepada Imam Abu Hanifah :” wahai Nu’man dari siapa kamu mengambil ilmu? Abu Hanifah menjawab :” dari pengikut Umar bin Khottob dari Umar bin Khottob, dari pengikut Ali dari Ali, dari pengikut Abdulloh bin Mas’ud dari Abdulloh bin Mas’ud, dan dari pengikut Ibnu Abas dari Ibnu Abbas”.

Masyayikh Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah memiliki beberapa guru besar yang menjadikan Imam Abu Hanifah sebagai ulama’ besar, menjadi seorang Faqih handal, dam mengetahui solusi permasalahan secara mendetail.

Waktu itu Kufah benar-benar menjadi sebuah kota yng memiliki banyak ulama’ besar. Diantaranya Hamad bin Abi Sulaiman dinama merupakan guru Imam Abu Hanifah yang pertama di dalam ilmu fiqih. Imam Abu Hanifah belajar darinya tentang segala macam ilmu fiqih dan metodenya. Abu Hanifah berguru kepadanya selama kurang lebih 18 tahun sehingga pada suatu hari Hamad bin Abi Sulaiman pun bertanya kepada Imam Abu Hanifah :”apakah kamu ingin melampoiku wahai Abu Hanifah?”. Ini merupakan sindiran bagi Abu Hanifah yang begitu lama mengambil ilmu darinya.

Sedangkan Hamad bin Abi Sulaiman berguru kepada Ibrahim an Nakh’i. Dan Ibrahim an Nakh’i berguru kepada ‘Alqomah an Nakh’i yang berguru kepada Abdulloh bin Mas’ud seorang sahabat yang terkenal dengan ilmu fiqih dan pendapatnya yang banyak. Imam Abu Hanifah juga berguru kepada beberapa ulama’ tabi’in seperti Atho’ bin Abi Robah, dan Nafi’ Maula Abdulloh bin Umar. Dan Imam Abu Hanifah juga menyiapkan waktu khusus ketika haji untuk bertemu dan berdiskusi dengan para ulama’ Hijaz yang mana menambah khazanah keilmuan dan belajar pula thariqah para fuqoha’.

Imam Abu Hanifah sendiri tidak memiliki karangan khusus. Namun Imam memiliki murid-murid seperti Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Zufar bin al Huzail yang mana mereka menjadi ulama besar yang menyebarkan ajaran-ajaran madzhab Imam Abu Hanifah. Sehingga madzhab Imam Abu Hanifah ini menjadi salah satu madzhab besar dan paling awal munculnya dibanding tiga madzhab lainnya, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i dan madzhab Hambali.Dan madzhab ini meluas ke suluruh penjuru dunia.


Selengkapnya......

Pengantar Ilmu Fiqih

17 Maret 2009

Pendahuluan
Ilmu fiqih adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan umat islam. Fiqih termasuk ilmu yang muncul pada masa awal berkembang agama islam. Secara esensial, fiqih sudah ada pada masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Karena Semua persoalan keagamaan yang muncul waktu itu, langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan bisa terobati, dengan bersumber pada al qur’an sebagai al wahyu al matludan sunnah sebagai alwahyu ghoiru matlu. Baru sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqh ini mulai muncul, seiring dengan timbulnya permasalahan-permasalahan yang muncul dan membutuhkan sebuah hukum melalui jalan istimbat.

Generasi penerus Nabi Muhammad SAW tidak hanya berhenti pada masa khulafa’urrosyidin, namun masih diteruskan oleh para tabi’in dan ulama’ sholihin hingga sampai pada zaman kita sekarang ini. Perkembangan ilmu fiqih, bisa kita kualifikasikan secara periodik sesuai dengan kesepakatan para ulama. Yaitu ada empat, diantaranya : Pertama adalah masa kemunculan dan pembentuakn dasar-dasar islam, perode ini mencakup masa Nani SAW dan bisa juga disebut sebagai masa turunnya al qur’an atau wahyu. Kedua adalah masa pembangunan dan penyempurnaan, pada periode ini mencakup masa sahabat dan tabi’in hingga pertengahan qurun ke empat hijriyah. Yang ke tiga adalah masa taqlid dan jumud, pada periode ini berkisar antara pertengahan abad ke empat hingga abad ke tiga belas hijriyah. Keempat adalah masa kebangkitan, periode ini berkisar dari abad tiga belas hingga sekarang.


1. Pengertian ilmu fiqih
a) Menurut bahasa : al ‘ilmu wal fahmu, mengetahui dan memahami.
قال تعالى : وما كان المؤمنون لينفروا كافة فلولا نفر من كل فرقة ليتفقهوا فى الدين ولينذروا قومهم اذا رجعوا اليهم لعلهم يحذرون.
Dan yang dimaksud dengan tafqquh fi din di dalam ayat di atas adalah al fahmu wal ‘ilmu atas semua hukum-hukum agama.
b) Menurut istilah :
العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسب من ادلّتها التفصيلية.
Yaitu mengetahui hukum-hukum syar’i yang berkenaan dengan amal yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.

2. Cakupan Pembahasan Ilmu Fiqih
Ada beberapa pendapat tentang cakupan pembahasan ilmu ini, dan diantaranya adalah dibagi menjadi dua hal penting. Yaitu :

a) Ibadah : ini mecakup sholat puasa zakat haji dll.
b) Mu’amalah : mencakup hal-hal yang selain ibadah yang merupakan hukum yang bersifat amaliyah. Mulai dari jinayat, mu’amaah, wasiat dan mawaris.
Ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa pemabahasan ilmu ini dibagi menjadi tiga, diantaranya :

a) Ibadah : yaitu sholat, puasa, zakat, haji dan jihad.
b) Mu’amalat : yaitu mencakup jual beli, amanah, pernikahan dan segala macam yang berkaitan dengannya.
c) Hukuman : tentang qishosh, had bagi pencuri, had bagi pezina, had al qodzaf dan hukuman bagi orang-orang yang murtad dari agama islam.

3. Periode Perkembangan Ilmu Fiqih
Peiode perkembangan ilmu fiqih dapat kita kualifikasikan menjadi 4 periode.
A) Masa kemunculan dan peletakan dasar-dasar islam (daur an Nasy’ah wa at Ta’sis)
Periode ini berjalan selama 23 tahun, dimulai pada tahun 13 sebelum masehi hingga wafatnya Rosululloh SAW. Masa ini dinamakan masa kemunculan dan peletakan dasar-dasar islam yang disebabkan oleh beberapa sebab. Diantaranya :

 Telah sempurnanya dasar-dasar agama islam dan sumber hukum yang utama.
 Bahwa setiap hukum syar’i yang ada pada masa ini bersumber kepada Nabi SAW.
 Masa setelah Nabi SAW tidak mendatangkang suatu hukum yang baru, kecuali jika ada permasalaan yang muncul dan permasalahan itu tidak terdapat pada masa Nabi SAW, dengan menggunakan ijma’ ataupun qiyas.

Pada periode ini juga dibegi menjadi dua bagian, masa Nabi SAW di Makkah selama 13 tahun. Dan masa Nabi SAW di Madinah selama 10 tahun atau hingga wafatnya Rosululloh SAW.

1) Bagian pertama (Makkah)

Proses da’wah Nabi SAW dimulai dari kota ini, Makkah. Mulai umur 40 tahun setelah diangkat sebagai rosul dan telah menerima wahyu yang pertama, Nabi SAW mulai menyerukan agama islam kepada kaum kafir, hingga hijrah beliau ke Madinah. Dalam marhalah ini Nabi SAW menekankan penyeruannya dalam dua hal. Yaitu masalah keimanan atau aqidah, agar kaum kafir quraisy meninggalkan sesembahannya kepada berhala dan berpaling kepada Allah SWT.
Disamping itu, Nabi SAW juga menekankan kepada akhlaq kaum kafir yang pada masa itu akhlaq kaum kafir quraisy sangatlah bobrok, banyak terjadi kemungkaran, ketidak adilan dsb, dan dikenal sebagai zaman jahiliyyah.

2) Bagian kedua (Madinah)

Marhalah ini berjalan selama 10 tahun, mulai dari hijrah Nabi SAW hingga wafat beliau. Dalam marhalah ini Nabi SAW menerusakan dakwahnya lebih menekankan pada masalah perbuatan ibadah dan hukum-hukumnya. Hal ini disebabkan karena pada marhalah yang pertama, Nabi SAW sudah menekankan pada aqidah dan akhlaq, maka pada marhalah ini perlu ditunjukkan kepada para umat islam tentang syari’at dan amaliyah yang di wajibkan.

Maka semua perintah ibadah apapun yang di wajibkan bagi umat islam berada dalam marhalah ini kecuali kewajiban sholat yang mana turunnya wahyu ini terdapat dalam kisah isro’ mi’roj, yang terjadi setahun sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Dengan kurun waktu kurang lebih selam 23 tahum lamanya, syari’at islam telah mencakup semua hal permasalahan yang ada waktu itu.

Masdar hukum pada masa ini

Dalam masa ini hanya terdapat dua sumber hukum yang semuanya itu adalah berasal dari Nai SAW. Yaitu, al Wahyu al Matlu (al qur’an) dan al Wahyu Ghoiru Matlu (sunnah).

Keutamaan marhalah ini (Nasy’ah wa Ta’sis)

1. Pada marhalah ini, sumber hukumnya hanya kepada Nabi SAW dalam al qur’an dan sunnah. Serta Nabi SAW menjadi salah satunya marja’ dalam mengetahui hukum-hukum syari’ah yang ada kala itu.
2. Syari’at pada masa ini sudah sempurna dengan qowa’id dan dasar-dasarnya. Yang mana itu bersusun dengan metode yang bagus dam menyeluruh. Seperti lafadz yang mujmal dan dasar-dasar hukum yang tetap.
3. Dalam masa ini, arti fiqih secara istilah belum muncul.

B) Masa pengembangan dan penyempurnaan

Seusai masa Nabi SAW yang telah meletakkan hukum-hukum islam serta menjadikan al qur’an dan sunnah sebagai sumber hukum waktu itu, dengan memuat di dalamnya qowa’id kulliyah dan dasar-dasar yang tetap, maka hal ini memberi kesempatan bagi para mujtahidin untuk mengembangkan cabang-cabang dari pada hukum-hukum yang mujmal tersebut. Sehingga sumber hukum yang tersumber hanya pada al qur’an dan sunnah, menjadi sebuah ladasan hukum yang akan selalu relevan dalam mensikapi masalah-masalah yang timbul sepanjang zaman.

Maka dari itu, dalam marhalah sepeninggal Rosululloh merupakan masa dimana ijtihad para sahab mulai berkembang. Istimbat hukum dari nas alqur’an dan sunnah mulai diterapkan. Selain itu juga pendapat kesepakatan para sahabat mulai diperlakukan jika mereka menemui masalah yang tidak terdapat dalam nas. Masa ini tergolong mempunyai tenggang waktu yang cukup lama. Yaitu mulai sepeninggal Rosululloh SAW hingga pertengahan abad ke empat hijriyyah.

Dan dalam marhalah ini, dapat dibagi menjadi tiga marhalah. Yaitu :

 Marhalah Khulafa’ur Rosyidin
 Marhalah Umawiyyin (daulah Umayyah)
 Marhalah Abasiyyah (daulah Abasiyyah)

1. Marhalah Khulafa’ur Rosyidin

Marhalah ini dimulai dari sepeninggal Rosululloh SAW pada tahun 11 H. hingga berakhirnya masa Khulafa’ur Rosyidin pada tahun 40 H. dengan sempurnanya syari’at pada masa Nabi SAW, maka para sahabat merupakan orang-orang yang mempunyai kemampuan yang paling tinggi dalam berijtihad dan beristimbat hukum.

Pengertian sahabat

Yaitu : setiap orang yang pernah berjumpa Rosululloh SAW dengan beriman kepadanya dan mati dalam keadaan islam.

Dalam pengertian sahabat terdapat beberapa perbedaan menurut sebagian ulama’. Diantaranya ada yang menysaratkan dengan periwayatan, bermulazamah, dan mengikuti salah satu perang bersama Nabi SAW. Dan ada yang sama sekali tidak mensyaratkan hal tersebut diatas.
Keunggulan para sahabat dalam berijtihad dan beristimbat hukum, dibanding umat isam yang lain disebabkan beberapa hal sebagai berikut :

 Dekatnya kebersamaan para sahabat kepada Nabi SAW menyebabkan mereka sangat paham dengan sebab-sebab turunnya al qur’an, asbabul wurudnya hadits, penafsiran Nabi SAW terhadap beberapa ayat serta mengetahui ‘illah dari pada hukum-hukum dan hikmah dari setiap syari’at yang ada.

 Kemempuan bahasa para sahabat yang sangat mahir yang mana al qur’an turun dengan bahasa mereka.

 Hafalan al qur’an dan sunnah yang dimiliki para sahabat. Sehingga mereka merupakan orang-orang yang paling dahulu memahami hukum-hukum islam.

Walaupun demikian, namun para sahabat Nabi SAW tidaklah mempunyai kemampuan yang sama. Mereka mempunyai kemampuan dalam berijtihad dan mengambil hukun dari al qur’an yang berbeda. Hal itu karena waktu para sahabat dalam mendampingi Rosul SAW yang tidak sama. Ada yang lama, ada juga yang sebentar. Selain itu juga para sahabat sebagai mana tabi’at manusia, yaitu memiliki kemampuan dalam diri masing-masing yang berbeda satu sama lain.

Sumber-sumber hukum pada masa ini

 Al qur’an
 Sunnah
 Ijma’
 Qiyas/ pendapat

Keistimewaan masa Khulafa’ur Rosyidin

 Bahwa fiqih pada masa ini muncul sesuai dengan perjalannya waktu. Dalam artian, kapan ada suatu permasalahan yang tidak terdapat di dalam Nas, maka para mujtahidin berusaha menggali hukumnya dari al qur’an dan sunnah.

 Dalam masa ini terjadi pengumpulan al qur’an dan menjadikannya dalam satu mushaf. Hal ini terjadi karena untuk menghindari perpecahan diantara umat islam yang sudah mulai merambah ke seluruh tanah arab.

 Dalam masa ini juga belum ada periwayatan hadits, kecuali jika ada sebuah kebutuhan untuk mengetahui suatu hukum.

 Di masa ini juga telah menghadirkan sumber hukum baru yaitu ijma’. Dan ini banyak sekali timbul permasalahan yang merujuk pada ijma’.

2. Marhalah Daulah Umayah

Masa ini dimulai pada tahun 41 H. Tepatnya setelah meninggalnya Khalifah Ali r.a. dan berjalan hingga awal abad ke dua, tepatnya pada tahun 132 H. masa ini memang sebagai permualaan masa pekembangan fiqih dalam islam. Selain itu juga berkembanganya firqoh-firqoh islam serta muncul beberapa permasalahan politik.

Maka dengan hal semua itu dapat kita temui ada tiga macam firqoh yang diikuti kaum muslimin waktu itu.

a) Syi’ah

Mereka adalah sekelompok orang yang sangat mengidolakan sahabat Ali r.a. selain itu juga mereka adalah orang-orang yang berpendapat bahwa khilafah setelah meninggalnya Rosululloh SAW adalah sahabat Ali r.a. dan para keturunannya. Jadi bahwa pemilihan kholifah haruslah dengan cara pewarisan. Dan masih banyak lagi hal-hal khusus yang menjadi karakteristik firqoh ini. Firqoh ini juga masih terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya adalah : Az Zaidiyyah, al Imamiyyah al Itsna ‘Asyariyyah, al Isma’iliyyah.

b) Khowarij

Mereka adalah sebagian kelompok yang tidak setuju dengan keputusan sahabat Ali r.a. yang menerima tahkim dalam perang dengan Mu’awiyah (perang sifin). Maka kemudian mereka mengkafirkan sahabat Ali begitu juga mengkairkan Mu’awiyah. Dan salah satu pendapat mereka bahwa pemilihan kholifah haruslah dari seorang yang adail secara mutlak. Dalam artian, pemimpin merupakan orang yang tidak melakukan dosa besar. Dan kholifah tidaka harus dari kalangan kaum quraisy atau bangsa arab. Firqoh ini dipelopori oleh Abdulloh bin Wahhab ar Rosiby. Firqoh ini juga terbagi oleh beberapa kelompok, dan yang paling terkenal dan mendekati ahli sunnah adalah al Ibadhiyah.

c) Jumhur Muslimin

Mereka adalah kelompok yang memutuskan untuk tidak bercondong ke firqoh manapun. Mereka adalah orang-orang yang menjadi penengan diantara dua kelompok di atas. Dan diantara pendapatnya bahwa kholifah haruslah berasal dari kaum quraisy bukan dari kaum yang lain. Kelompok ini juga tidak luput dari perbedaan, yaitu tentang istibat dalam sebuah hukum, kelompok ini terbagi menjadi dua kelompok. Ahli hadits dan ahli ro’yi.

Dengan adanya khilaf tentang politik, sangatlah berpengaruh pada perkembangan ilmu fiqih yang mana dari khilaf tersebut, menghasilkan manhaj fiqh yang berbeda-beda. Dan permulaan abad ke dua ini, pembahasan tentang syari’ah dan fiqih juga masih sangat bagus seperti halnya pada masa sahabat. Walaupun di masa ini sudah muncul majal baru yaitu permasalahan polotik.
Masa ini juga ditandai dengan banyak mufti diantara mereka. Terang saja, karena disana banyak sekali permasalahan yang muncul dimana permasalahan tersebut belum ada pada masa Nabi SAW. Maka kegatan ilmu fiqih sangat berkembang waktu itu. Hal itu disebabkan oleh beberapa sebab sebagai berikut.

 Tersebarnya para sahabat ke daerah luas.
 Meluasnya periwayatan hadits.
 Terjunnya kaum Mawaly (para budak yang telah merdeka) ke dalam ilmu fiqih dan syari’at.
 Munculnya madrasah fiqhiyyah.

3. Daulah Abasiyyah

Marhalah masih merupakan bagian dari marhalah penyempurnaan fiqih islam. Dimulai dari runtuhnya daulah Umayah pada tahun 132 H. dan selesai hingga pertengahan abad ke empat H. ketika khilafah Abasiyyah ini sudah sangat lemah dan hanya sebatas nama.
Masa ini tergolong menjadi puncak perkembangan ilmu fiqih yang mana ilmu ini sudah mencapai pada pemahasan yang rinci, serta mencakup ke seluruh aspek. selain berdirinya ilmu fiqih sebagai disiplin ilmu tersendiri pada masa ini, terdapat pembukuan dari beberapa ilmu seperti tafsir, hadits dan ilmu bahasa.

Adapun sebeb-sebab perkembangan ilmu tersebut adalah sebagai berikut :

 Terjaganya ilmu fiqih dan para ahli fiqih pada marhalah daulah Abasiyyah.
 Bersungguh sungguh dalam mendidik para pemimpin dengan keagamaan.
 Memiliki demokrasi yang baik, khususnya bebas berpendapat dalam masalah keagamaan.
 Banyaknya perdebatan dan diskusi ilmiyyah antara ahli fiqih.
 Banyaknya kejadian-kejadian baru yang muncul pada masa ini.
 Pengaruh pemikiran-pemikiran dan pengetahuan dari berbagai bangsa.
 Pembukuan buku-buku penting dan terjemah buku ilmiyah.

Sumber hukum pada masa ini
Dalam masa ini ada dua macam suber hukum, mashodir muttafaq ‘alaiha dan mashodir mukhtalaf ‘alaiha. Ada empat sumber hukun yang disepakati jumhur muslimin, yaitu : al qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas.

Sedangkan sumber hukum yang mukhtalaf yaitu :
Istihsan, mashlahah mursalah, istishab, saddu Dzaro’i’, ‘amal ahli Madinah, qoul sohabiy, ‘urf dan yang terakhir adalah syar’ man qoblana.

Keistimewaan masa ini

 Fiqih sudah sampai pada titik sempurna pada masa ini.
 Pada masa ini muncul ulam’-ulama’ besar, fuqoha’ dan ahli ilmu yang lain.
 Madzhab fiqih pada masa ini dudah berkembang dan yang paling masyhur adalah 4 madzhab.
 Telah dibukukan ilmu-ilmu penting dalam islam. Diantaranya, dalam madzhab abu hanifah : kutub dzohir al Riwayah yang diriwayatkan dari oleh Muhammad bin al Hasan dari Abu Yusuf dari imam Abu Hanifah, kemudian dikumpulkan menjadi kitab al Kafi oleh al Hakim as Syahid. Dalam madzhab imam Malik : al Mudawwanah yang diriwayatkan oleh Sahnun dari Ibnu Qosim dari imam Malik. Dalam madzhab imam Syafi’i kitab al Um yang diimlakkan oleh imam kepada muridnya di Mesir. Dalam madzhab imam Ahmad kitab al Jami’ al Kabir yang dikarang oleh Abu Bakar al Khollal setelah mengumpulkannya dari pere murid imam Ahmad.

C) Masa Taqlid dan Jumud

masa ini di mulai setelah pertengahan abad ke empat hijriyah, hingga akhir abad ke 13 H. marhalah ini dapat dibagi menjadi dua masa taqlid dan jumud.

1. Masa Taqlid

masa ini disebut masa taqlid karena memang para ulama’ waktu itu tidak lagi beristimabt dan berusaha menghasilkan hukum dari buah pikirannya. Melainkan mereka mengikuti madzhab tertentu dan hanya berqiblat pada imam madzhab tertentu. Tidak seperti pada masa sebelumnya yang jika da permasalahan bar, mereka berusaha mencari solusi berdasarkan al qur’an dan sunnah.

Selain itu, luasnya daerah kekuasaan islam yang diisi pada setiap daerah satu pemimpin Amirul mu’minin, semakin lama kondisi ini menyebabkan terpecahnya kekuasaan islam. Sehingga islam menjadi beberapa bagian yang memudahkan kaum musuh untuk menghancurkan islam.
Keadaan islam waktu itu semakin mundur dengan adanya politik yang mulai masuk pada kekholifahan. Hal ini menyebabkan konsentrasi para pemimpin tidak terfokus untuk menjaga fiqih dan ulama’nya, sehingga para ulama’ waktu itu juga menurun kualitasnya dan hanya taqlid kepada imam-imam madzhab.

Sebab-sebab taqlid

 Pembukuan kitab-kitab fiqih
 Fanatik terhadap madzhab tertentu
 Kemampuan dalam memutuskan hukum
 Ditutupnya pintu ijtihad

Ulama’ masa ini

Madzhab Abu Hanifah : Abu Hasan al Kurkhi, al Qoduri, as Sarkhosi, as Samarkhan. Madzhab imam Malik : Abu Walid al Baji, Abu Muhammad al Maki, Ibnu Rusyd al Hafid. Madzhab Syafi’i : Mawardi, as Syirozi. Madzhab Hambali : Ibnu Qudamah. ibnu Hazm ad Dhohiri.

2. Masa Jumud dan Ta’akhur

Masa ini dimulai dari tahun 656 hijriyah tepat dengan runtuhnya Baghdad yang ditahlukkan oleh Holago khan dari bangsa Tartar, dan selesai pada akhir abad ke 13 H.

Marhalah ini terhitung menjadi masa yang terpanjang dalam perkembangan fiqih islam. Namun fiqih islam justru mengalami kemunduran. Dibuktikan dengan adanya karangan-karangan kitab yang mempermudah para pembaca dalam memahaminya seperti matan, mukhtasor, syarh, hasyiyah dan lain sebagainya.

Namun Allah SWT tidaklah akan meninggalkan hambanya dengan membiarkan islam dalam masa kejumudan dan tidak ada ijtihad. Maka pada masa ini muncullah beberapa ulama’ mujaddid yang membuka kembali pintu ijtihad. Yaitu Ibnu Taimiyyah (meninggal tahun 728 H.) dan Ibnu Qoyyim al Juziyyah (meninggal tahun 751 H.). mereka adalah ulama’ Hanabilah.
Ulama’ masa ini

Muhyidin an Nawawi (wafat 676 H.), as Subki (wafat 756 H.), Zakariya al Ansori (wafat 926), Ibnu Timiyyah, Ibnu Qoyyim.

D) Masa kebangkitan islam

Masa ini dimulai dari akhir abad ke 13 hijriyyah hingga saat sekarang. Kebangkitan ini ditandai dengan beberapa kemajuan yang sebelumnya belum ada semisal hilangnya fanatik dihati kaum muslimin yang membuka pikiran kaum muslimin untuk mengembangkan sebuah pemikiran agamanya. Kemudian juga mulai adanya pembelajaran fiqih muqoron walaupun sebelumnya telah ada buku-buku tentang fiqih muqoron. Dan diantara ulama’ masa ini : imam Muhammad Abduh(1115-1206 H.),imam as Syaukani(1172-1250 H.), imam Muhammad Abduh(1266-1323 H.)

Epilog
Begitu panjang perjalanan ilmu fiqih dari kemunculannya hingga sekarang dan mungkin hingga puluhan tahun ke depan fiqih akan selalu berkembang karena memang hukum islam dengan qoidah mujmalah yang ada dalam al qur’an sebagai sumber utama islam, menjadi tempat olah pikir para ahli agama untuk merespon masalah-masalah yang muncul. Sehingga syari’at islam akan selalu relevan sebagai sumber solusi masalah yang muncul sepanjang zaman.












Selengkapnya......

Kajian Pertama IMAPA

14 Maret 2009


Sabtu, 8/3/2009, merupakan hari pertama IMAPA melakukan kajiannya. Bertempat di Hay Tamin di rumah Mas Fais yang sementara dinobatkan sebagai sekretariat IMAPA. Kajian ini berjalan cukup lancar walaupun sebelumnya sempat terjadi salah paham antar anggota dalam kesepakatan waktu.

Tentang IMAPA, ia adalah nama baru yang telah dicetuskan untuk mewakili para alumni pondok pesantren Al Asy’ariyyah yang berada di Kairo. Nama ini berdiri beberapa minggu yang lalu. Jumlah anggota baru ada belasan orang, empat diantaranya adalah anak baru. Nama IMAPA itu sendiri dietuskan oleh salah satu anggota yang kemudian menjadi salah satu sesepuh IMAPA yaitu Mas Fais Husaini. Kali pertama IMAPA dipimpin oleh Sdr. Eko Sutrisno yang berasal dari kota Pekalongan.

IMAPA memiliki paling tidak dua kegiatan rutin, kajian dan tahfidz al qur’an. Mengenai kajian, IMAPA mengambil setiap hari sabtu sore yang bertempat di sekretariat IMAPA, H-8. Dengan mengangkad tema yang berkaitan dengan pelajaran yang berkaitan dengan setiap fakultas, hal itu disebabkan beragamnya fakultas anggota IMAPA. Kemudian yang kedua adalah kegiatan tahfidz al qur’an. Kegiatan ini juga diadakan secara rutin. Namun peserta anggota ini tidak wajib untuk semua anggota IMAPA. Hal ini dikarenakan adanya beberapa anggota IMAPA yang sudah merampungkan al qur’annya sebelum berangkat ke Mesir.

Secara umum IMAPA merupakan sebuah organisasi yang bagus dan perlu dikembangkan. Karena memang organisasi yang secara tidak langsung menjadi wadah bagi para huffadz, juga banyak dari anggotanya yang berkecimpung dalam dunia tilawatul qur’an. Maka dari itu, prospek anggota IMAPA dalam ranah masisir mungkin bisa menjadikan sebuah media untuk pengembangan diri bagi setiap anggota. Khuysusnya dalam hal tahfidz dan tilawah.

Dibentuknya organisasi ini juga mempunyai beberapa arti penting bagi anggotanya. Sebagai contoh, penulis yang juga anggota IMAPA juga ingin menyampaikan bahwa organisasi ini memiliki arti penting bagi perjalanan kehidupannya di bumi Kinanah ini. Karena penulis benar-benar memenfaatkan sebuah kesempatan untuk menjadikan tempat setoran al qur’an yang selama ini masih terkatung-katung. Maka dengan adanya IMAPA, mungkin pada nantinya akan membawa setiap anggota dalam meraih cita-citanya.

Dan yang terakhir, bahwa IMAPA ini adalah yang pertama bagi para alumni pondok pesantren al asy ‘ariyyah yang berada di luar negri. Maka dengan harapan, permulaan ini pada nantinya akan menjadi sebuah panutan sehingga para alumni yang berada selain di Kairo, bisa mengikuti jejak IMAPA Mesir.


Selengkapnya......