Madzhab hanafi adalah madzhab yang paling awal munculnya dibanding tiga madzhab besar lainnya. Madzhab Hanafi dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah an Nu’man bin Tsabit bin Zutha. Imam Abu Hanifah dilahirkan di Kufah tahun 80 H. dan wafat di Baghdad pada tahun 150 H.
Imam Abu Hanifah termasuk sebagai tabi’in, karena beliau sempat bertemu dengan sahabat Anas bin Malik, Abdullah bin Abi Aufa, Sahal bin Sa’ad as Sa’idi dan Abu Thufail ‘Amir bin Wa’ilah. Dan Imam Abu Hanifah juga meriwayatkan beberapa hadits dari mereka. Sebagaimana bapak beliau, Tsabit, yang bertemu dengan Khalifah Ali bin Abi Tholib r.a. yang kemudian mendo’akan agar mendapat barakah dalam keluarganya.
Imam Abu Hanifah hidup dalam keluarga pedagang di Kufah. Yaitu pedagang kain Khozz (salah satu jenis sutera). keluarga Imam Abu Hanifah juga telah menyerukan agama islam setelah bapaknya (Tsabit) bertemu dengan Imam Ali r.a.
Pada mulanya Imam Abu Hanifah berkonsentrasi untuk menghafal al qur’an seperti yang dilakukan para memeluk agama islam masa itu. Setelah selesai menghafal al qur’an, kemudian beliau mempelajari sunnah dan juga mempelajari ilmu nahwu, adab, sya’ir dan mendiskusikan kelompok-kelompok yang berbeda dalam masalah i’tiqodiyyah. Imam Abu Hanifah juga pergi ke Bashroh untuk melakukan diskusi ini. Dan terkadang menetap di sana demi melakukan diskusi dalam waktu yang lama. Lalu setelah itu, Imam Abu Hanifah mulai mempelajari ilmu fiqih.
Sesuai keterangan di atas, bahwa Imam Abu Hanifah mulai dari kecil telah melakukan kegiatan perdagangan hasil waris dari keluarganya. Maka beliau meneruskan keterampilan keluarganya itu sebagai sumber penghidupan. Sehigga kebanyakan beliau menghabiskan waktunya dalam kegiatan mua’amalah. Dengan ini maka beliau mendapat banyak pengalaman dan pengetahuan dalam masalah mu’amalah.
Kedekatan Imam Abu Hanifah kepada Ulama’
Imam Abu Hanifah merupakan sosok seorang yang sangat cerdas, cekatan, memiliki kecerdasan manthiq yang bagus sehingga para ulama waktu itu sangat menghargainya dan menganjurkan berguru kepadanya. Dalam salah satu riwayat dari Imam, beliau berkata: “ suatu hari aku berjalan melintasi depan as Sya’bi, Dia duduk lalu memanggil dan berkata kepadaku :”mau pergi kepada siapa?” Aku menjawab :” saya mau pergi ke pasar”. Dia berkata :”maksud saya bukan pergi ke pasar, melainkan mau pergi kepada ulama’ “. Maka saya berkata :” saya sedikit sekali berbaur dengan para ulama’”. Dia berkata kepadaku lagi:” jangan lupa bahwa kewajibanmu adalah belajar ilmu dan mendatangi majlis para ulama’. Sesungguhnya aku melihat semangat kewaspadaan dan keterampilan ada dalam dirimu”.Imam Abu Hanifah berkata:” perkatannya telah masuk di dalam hatiku. Maka aku menangguhkan pergi ke pasar dan berpaling kepada ilmu. Maka Allah SWT memberikan manfaat kepadaku melalui perkataan itu”.
Imam Abu Hanifah benar-benar cerdas dan pandai dalam ilmu kalam dan berkecimpung dalam ilmu ini. Sehingga beliau memiliki pendapat-pendapat yang dirangkum dalam berbagai kitab mengenai ilmu ini. Namun setelah itu, beliau kembali berpikir dan meninggalkan dunia ilmu kalam untuk berpaling ke dalam ilmu fiqih. Hal ini karena beliau mengikuti para Sahabat radhiyallohu ‘anhum, yang mana mereka berkecimpung dalam masalah fiqih dan tidak masuk pada dunia ilmu kalam. Padalah para sahabat mempunyai kapasitas keilmuan yang sangat tinggi dan tahu hakikat dari semua perkara. Dan karena ilmu fiqih merupakan ilmu yang mencakup permasalahan dunia dan akhirat.
Imam Abu Hanifah juga berusaha keras dalam mendalami ilmu fiqih khususnya pada empat macam fiqih yaitu : fiqihnya ‘Umar bin Khottob yang terangkum dalam kemashlahatan, fiqihnya Ali bin Abi Tholib yang terangkum dalam masalah istimbath dan hakikat dari syari’ah, ilmu Abdullah bin Mas’ud yang terangkum dalam Takhrij, dan ilmu Abdullah bin Abbas yaitu ilmu al qur’an dan pemahamannya.
Abu Ja’far yang telah sampai pada tingkatan ulama’ besar pun bertanya kepada Imam Abu Hanifah :” wahai Nu’man dari siapa kamu mengambil ilmu? Abu Hanifah menjawab :” dari pengikut Umar bin Khottob dari Umar bin Khottob, dari pengikut Ali dari Ali, dari pengikut Abdulloh bin Mas’ud dari Abdulloh bin Mas’ud, dan dari pengikut Ibnu Abas dari Ibnu Abbas”.
Masyayikh Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah memiliki beberapa guru besar yang menjadikan Imam Abu Hanifah sebagai ulama’ besar, menjadi seorang Faqih handal, dam mengetahui solusi permasalahan secara mendetail.
Waktu itu Kufah benar-benar menjadi sebuah kota yng memiliki banyak ulama’ besar. Diantaranya Hamad bin Abi Sulaiman dinama merupakan guru Imam Abu Hanifah yang pertama di dalam ilmu fiqih. Imam Abu Hanifah belajar darinya tentang segala macam ilmu fiqih dan metodenya. Abu Hanifah berguru kepadanya selama kurang lebih 18 tahun sehingga pada suatu hari Hamad bin Abi Sulaiman pun bertanya kepada Imam Abu Hanifah :”apakah kamu ingin melampoiku wahai Abu Hanifah?”. Ini merupakan sindiran bagi Abu Hanifah yang begitu lama mengambil ilmu darinya.
Sedangkan Hamad bin Abi Sulaiman berguru kepada Ibrahim an Nakh’i. Dan Ibrahim an Nakh’i berguru kepada ‘Alqomah an Nakh’i yang berguru kepada Abdulloh bin Mas’ud seorang sahabat yang terkenal dengan ilmu fiqih dan pendapatnya yang banyak. Imam Abu Hanifah juga berguru kepada beberapa ulama’ tabi’in seperti Atho’ bin Abi Robah, dan Nafi’ Maula Abdulloh bin Umar. Dan Imam Abu Hanifah juga menyiapkan waktu khusus ketika haji untuk bertemu dan berdiskusi dengan para ulama’ Hijaz yang mana menambah khazanah keilmuan dan belajar pula thariqah para fuqoha’.
Imam Abu Hanifah sendiri tidak memiliki karangan khusus. Namun Imam memiliki murid-murid seperti Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Zufar bin al Huzail yang mana mereka menjadi ulama besar yang menyebarkan ajaran-ajaran madzhab Imam Abu Hanifah. Sehingga madzhab Imam Abu Hanifah ini menjadi salah satu madzhab besar dan paling awal munculnya dibanding tiga madzhab lainnya, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i dan madzhab Hambali.Dan madzhab ini meluas ke suluruh penjuru dunia.
0 komentar:
Posting Komentar